Literasi (1)





Apa arti literasi, dan apa kegunaannya? Pertanyaan ini sangat penting dijawab ditengah banyaknya kaum tuna referensi. Literasi menjadi cermin budaya, bahkan peradaban sebuah bangsa. Berita hoax tidak akan berkembang pesat jika budaya literasi menguat.

Dalam berbagai kamus disebutkan, literasi bermakna kesanggupan membaca dan menulis. Kemendikbud kemudian mencoba menggalakkan budaya literasi di sekolah dengan mengalokasikan 15 menit untuk membaca. Pernah suatu ketika saya bertemu Ibu-ibu di toko buku, Ibu itu mencarikan novel untuk anaknya. Katanya, di sekolah tempat anaknya belajar, kini wajib membaca novel 15 menit sebelum pelajaran dimulai.

Gebrakan semacam itu bagus. Sebagai negara merdeka, kesadaran literasi bangsa Indonesia bahkan masih kalah jika dibandingkan sekolah era kolonial. Di Algemeene Middelbare, setingkat SMA zaman kolonial Belanda dulu, setiap siswa harus membaca minimal 25 buku sastra selama 3 tahun masa Pendidikannya.

Meski kita juga tidak menampik adanya tantangan digitalisasi yang marak belakangan ini. Game online yang merebak, serta kemudahan menggunakan mesin pencari seperti google. Tradisi membaca buku sedikit demi sedikit tergerus. Semua serba instan.

Misal, untuk membuat makalah tentang pemikiran Tan Malaka, sebagian orang berfikir cukup dengan search di internet, lalu memodifikasikannya. Setelah ditanya secara lisan, kelimpungan menjawab. Itulah bedanya yang Cuma mencari, dan membaca.

Dalam skala individu, gerakan literasi bisa dimulai dari hal sederhana. Yaitu, meluangkan waktu untuk membaca. Seperti contoh diatas, beberapa sekolah mewajibkan 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun upayakan, aktivitas membaca itu terbit dari kesadaran, bukan karena aturan. Agar kita bisa menghayati, sekaligus mengilhami apa yang kita baca.

Perlu juga diingat, bahwa membaca adalah hak semua orang, dan bisa menjadi tradisi semua orang. Tidak saja termonopoli di lingkaran kaum akademik. Apapun status dan profesinya, membaca bisa dilakukan semua orang. Karena wawasan dan persepsi sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan.

Sekarang tidak ada lagi alasan sulitnya mengakses buku. Banyak perpustakaan daerah, banyak pegiat literasi yang membuka lapak-lapak buku, banyak toko buku. Tidak perlu muluk-muluk, misalkan sehari luangkan waktu 15 menit. Kalau dalam 15 menit bisa menyelesaikan 7 halaman, jika konsisten, dalam sebulan setidaknya katam 1 buku. Dalam setahun bisa katam, setidaknya 10 buku.

Mudah bukan? Tinggal bagaimana mood itu dibangun. Bagaimana budaya itu digalakkan. []

Blitar, 7 Januari 2017
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini