Waktu masih SD, saya pernah ikut Persami (perkemahan sabtu minggu), sebagaimana kegiatan perkemahan, salah satu tujuannya adalah mengajarkan siswa kemandirian, termasuk dalam penyediaan makanan. Beberapa siswi kemudian mendapatkan jatah menyediakan makanan.
Rasa masakannya hambar sekali, menunya adalah sayur sop. Sepertinya kurang bumbu, padahal bumbu yang disediakan lengkap. Mungkin kurang keahlian, maklum karena juru masaknya masih SD. Bahkan tempenya pun belum benar-benar matang, karenanya menjadi berminyak.
Sebagian dari peserta laki-laki menggurutu, sebagian lagi mengumpat kalau masakan tidak enak. Beberapa juru masak yang mendengar, sempat memasang muka sembab. Kala itu, untuk menyalahkan api saja butuh perjuangan ekstra. Kalau sekarang bisa pakai kompor gas. Sebenarnya ada kompor minyak yang disediakan guru, tapi jumlahnya hanya satu.
Masalahnya, meski sebagian ada yang mengumpat kalau masakan itu tidak enak. Keesokan harinya juga tidak ada yang bersedia menggantikan memasak. Mungkin kalau digantikan malah tambah hancur rasa masakannya.
Juga, ketika saya diminta menjadi taster untuk karya anak tata boga, saya lupa apa nama rotinya, tapi rasanya jauh dari bayangan. Roti itu sering disuguhkan pas lebaran, dan rasanya enak. Sementara hasil karya anak tataboga itu kurang berasa di lidah.
Kejadian itu membuat saya teringat peristiwa persami tersebut. Barangkali mudah saja buat berkata makanan tidak enak, hambar, dll, tapi kita belum tentu bisa membuat yang serupa. Layaknya menonton pertandingan sepak bola, orang sering menggoblokkan pemain tertentu karena dinilai kurang responsif, atau gagal mengelola bola di kakinya.
Ingatan itu membuat saya sungkan sendiri untuk berkata jika roti ini kurang enak. Saya bilang kurang, sebenarnya juga tidak tahu kurangnya dimana, dan bagaimana agar hasilnya bisa lebih enak. Toh, saya juga kurang tahu apa komposisinya. Jangankan membuat roti, membuat kopi saja tidak pernah mendapatkan rasa pas. Padahal caranya sangat sederhana.
Tapi menyalahkan itu memang gampang. Bisa saja kita bilang masakan itu tidak enak, yang masak goblok, tidak becus, kurang pengalaman dan lain-lain. Tapi kalau kita diminta membenahi, belum tentu juga bisa. Respon kita hanya dari sudut penikmat, bukan ahli.
Fenomena ini mudah kita temui. Di sekolah misalkan, kita dituntut untuk setidaknya mengusahai hampir semua mata pelajaran. Padahal tidak ada yang benar-benar mampu, termasuk guru. Fikiran guru terkotak pada mata peajaran yang diampu. Itu tidak salah, hanya menjadi sontoloyo ketika persepsi bahwa siswa pintar itu harus menguasahi semua bidang. Itu mustahil.
Seorang guru matematika pernah geram dan menghardik salah seorang siswa dengan sebutan goblok. Padahal jika diadu dalam mata pelajaran lain, guru matematika tersebut belum tentu lebih hebat dari siswa itu, misalkan dalam bidang ilmu sosial. Tentu ini bukan soal sopan santun, namun ini soal bagaimana kita seharusnya memandang orang lain.
Termasuk dalam melihat sebuah peristiwa yang lebih besar. Perihal kebijakan Pemerintah, yang kerap menjadi obyek kritik dan hujatan. Kritik itu tidak masalah, karena kritik itu pasti berisi solusi. Yang menjadi problem adalah hujatan.
Di media online atau sosial media, kita sering melihat akun-akun tak jelas yang komentarnya berisi hujatan, makian, dsj. Yang seperti itu tidak perlu ditanggapi, karena itu bisa jadi robot yang disetting untuk menghujat. Tidak perlu juga diambil hati. Para penghujat adalah orang dengan otak kosong yang gemar membuat ricuh, namun tidak punya solusi. []
Blitar, 2 Januari 2017
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini