Pemikiran Tasawuf Gusti Abdul Muis

Pemikiran Tasawuf KH. Gusti Abdul Muis
(Ulama Muhammadiyah Kalimantan Selatan)



Syariat, Tarikat, dan Hakikat

Syariat adalah kumpulan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah yang diturunkannya kpada manusia melalui Nabi dan Rasul.

Tarikat adalah sikap hidup terhadap suruhan-suruhan dan larangan-larangan Allah, kemudian diamalkan secara ikhlas dalam rangka mematuhi yang disuruh dan menjauhi yang dilarangnya.

Hakikat adalah pandangan batin terhadap semua hal, lalu menyaksikan bahwa semua hal itu datangnya dari Allah. 
 

Beliau menghendaki adanya keselarasan ketiga tersebut, bagi siapa saja yang berjalan menuju akhirat harus melalui tiga jalan itu, tidak boleh memgabaikan dan memisahkan salah satu dari ketiganya, karena hakikat tanpa syariat adalah batal, dan syariat tanpa hakikat adalah kosong melompong.

Selanjutnya, dia mengemukakan firman Allah surat      al-Fatihah ayat 4 yang artinya: “Hanya kepada engkau kami menyembah dan kepada engkau kami mohon pertolongan”.
Menurut ia ayat tersebut menjelaskan tentang hakikat, karena seorang hamba tidak akan sempurna perbuatannya kecuali dengan pertolongan Allah. Jadi bagi setiap hamba harus mengamalkan seluruh perintah Allah dan menjauhi dari segala larangan-Nya.

Begitu pula beliau menghendaki, ajaran Islam itu harus diamalkan secara totalitas dan tidak mengenal tingkatan mukmin (awam, wali maupun nabi) semua wajib menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah difardukan dalam Al-Qur'an dan as-Sunah. Namun bila seseorang menyangka dirinya sampai ke tingkat wali atau sampai ke tingkat hakikat maka gugurlah kewajiban syariat daripadanya, pendapat ini adalah sesat lagi menyesatkan, serta menentang syariat Allah. 

Maqamat
Gusti H. Abdul Muis membagi maqamat membagi atas beberapa macam di antaranya :

a. Tobat

Langkah pertama bagi salik (orang yang berjalan kepada Tuhan) adalah tobat dari dosa, dengan jalan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menutupi segala kekurangannya hamba-Nya. Maka tobat itu adalah modal pertama bagi orang yang ingin memperoleh kemenangan dan keberuntungan; syarat pertama bagi orang yang hendak menuju Allah; kunci guna meluruskan orang-orang yang selalu cenderung kepada subhat; dan mulai timbulnya pemilihan dan penyaringan bagi orang-orang bertakarrub.
 
Syarat utama tobat adalah menyesali perbuatan dosanya dan tidak akan mengulanginya (taubatan nasuha). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw : yang artinya menyesal itu adalah tobat.

Seorang muslim harus menyadari yang memisahkan dirinya dengan Tuhannya adalah dorongan nafsu, syahwat dan dosa-dosanya. Ia tahu betul, yang dapat menekan dirinya kepada Allah adalah dengan jalan memutuskan hubungan antara dirinya dengan dosa-dosanya, lalu mencari ketentraman hati kepada Allah dengan cara terus menerus zikir kepadanya. 
 

b. Sidiq dan Ikhlas

Orang sidiq ialah orang yang tidak ambil perduli akan segala cela yang muncul dari hati manusia dan tidak pola senang bila kebaikannya disebarluaskan serta tidak marah dan tidak benci bila keburukannya diungkapkan orang lain.

Maka sebagian ulama berpendapat sidiq dan ikhlas adalah dua keadaan yang selalu berdekatan. Ikhlas letaknya pada permulaan dan akhir amal sedangkan sidiq pada saat tengah-tengah melaksanakan amal dan sesudah beramal. “Ikhlas tidak riya dan sidiq tidak ujub”. Sidiq adalah pokok dan ikhlas adalah cabang. Ikhlas baru ada sesudah memasuki berbuat amal itu.

Para sufi terkemuka memakai makna sidiq dan ikhlas ialah keadaannya beramal sama saja baik secara terbuka maupun tersembunyi. Keadaan yang sebenarnya tidak mendustai amalnya dan amalnya tidak mendustai hakikat kebenaran yang sebenarnya. Sedangkan ikhlas adalah kelaziman bagi amal. 
 

Ikhlas yang paling utama adalah beramal karena Allah, semata-mata menjunjung perintahnya serta mengagungkan dan membesarkannya tidak terlintas di hatinya akan belasan pahala dan tidak pula rasa ketakutan akan hukum azab Allah swt. 
 

c. Khauf dan Raja

Khauf adalah rasa takut akan kemurkaan Allah dan raja (harap) adalah mengharap keampunan dari Allah swt. Menurut Yusuf Qardawi dalam kitabnya “Alimanu wa al-hayat” mengibaratkan khauf ini dengan ibarat : seorang yang sudah berusia lanjut pada suatu ketika merenungi dirinya. Lalu ia ingat umurnya sudah 60 tahun, berarti ia hidup di dunia 60  tahun 365 hari = 21.900 hari. Andai kata tiap hari ia membuat kesalahan yang dinilai dosanya seberat 1 kg, maka teranglah ketika jenazahnya diusung ke kuburan, ia membawa seberat 21.900 kg atau kurang lebih 22 ton dosa. Maka itu timbullah khauf dan timbul pula raja akan kemurahan ampunan Allah.

Dengan ukuran khauf dan raja itu, maka martabat manusia yang beramal tersusun sebagai berikut:

a. Orang yang beramal antara khauf dan raja.

b. Orang beramal dari lembah perpisahan untuk berpindah kepada maqam takarrub dan maqam ma’iyah (selalu merasa diri dekat dan disertai Allah)

c. Orang yang tidak termasuk point 1 dan 2 di atas, adalah manusia yang paling sia-sia hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. 
 

d. Tawakkal

Tawakkal adalah merasa cukup apa yang diberikan Allah sesudah berusaha dan mengharap kurnia Allah swt. Pada hakikatnya yang dijamin Allah itu adalah orang-orang yang qanaah dengan sebab-sebab yang telah diaturnya. Oleh karena itu, janganlah tawakal itu menunggu sebab, tetapi tinggalkanlah yang menyebabkan sebab-sebab itu.

Barang siapa yang memandang tempat berlakunya sunatullah  bahwa rezeki itu bukan sekedar sebab-sebab itu. Maka tawakal yang sempurna adalah berjalan bersama-sama dengan sabar. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat al-Ankabut ayat 58 yang artinya: “Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang yang beramal, yaitu bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya”.

Sebagai contoh tentang orang yang bertawakkal adalah mengunci rumah ketika ia tidur hal ini termasuk menuruti sunatullah. Sesuai dengan sabda Nabi yang artinya : Ikatlah untamu itu dan bertawakallah”. Bila hal itu masih terjadi kehilangan, maka seyogyanya ia bersabar dan yakin bahwa Allah akan menggantikan barang yang hilang dengan yang lebih baik di dunia dan di akhirat, itulah tawakal yang benar.
 

Dengan tauhid tersikap, bahwa tidak ada yang menciptakan melainkan Allah. Segala yang ada, baik hidup, mati, rezeki senang, sudah, dan lain-lain adalah dijadikan Allah sendiri saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Maka orang yang bertauhid tidak memandang yang lain selain Allah. Kepada Allah tercurah dan terarah seluruh harapan, karena itu kepada-Nya bertawakal.
 

e. Makrifat

Dasar agama adalah mengenal Allah (makrifat) sebelum beribadat kepada-Nya, hal ini sesuai dengan perkataan Ali r.a. Aku tidak menyembah Tuhan yang belum aku kenal akan Dia.

Puncaknya makrifat adalah tidak ada yang menjadikan alam dan segala isinya melainkan Allah dan tidak serupa dengan sesuatu jua pun dan ia bersifat sempurna.
Sedang jalan untuk mengenal Allah harus melalui jalan Allah, yang menerangkan kepada hamba-hamba-Nya tentang diri-Nya, sifat-sifat-Nya dan asma-asma-Nya.
 

Tasawuf Sunni

Tasawuf bertitik tolak dari ajaran Islam dan ia lahir sejak mulanya karena dorongan cinta dan peningkatan takwa kepada Allah yang dipelopori oleh para ulama fukaha maupun hadits tafsir dan tauhid. Yang meletakkan dasar-dasar tasawuf suni adalah al-Qusyairi, ia menghendaki agar ajaran tasawud tetap sesuai dnegan tuntutan al-Qur'an dan hadits. Kemudian al-Ghazali meneruskan ide-ide tersebut, yaitu membawa tasawuf kepada fakta-fakta dasar dan sejarahnya sebagaimana sumber yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits, ia berusaha keras mengembalikan ajaran sufi kepada sumber aslinya (Al-Qur'an dan sunah). Tujuan al-Ghazali mencari penyelesaian masalah kerohanian pribadinya sendiri dalam mencari kebenaran, tetapi dalam usahanya itu ia telah berhasil menolong ribuan orang lain, dalam usaha mereka dalam mencari kebenaran yang sama. Kebenaran itu ditemukannya pada cara hidup sufi yang diterapkan sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Al-Ghazali berhasil menyelaraskan antara ajaran tasawuf dengan syariat. 

____________________
sumber pustaka : muhammadiyah.or.id 

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini