Sixpack





Memasuki usia enam belas tahun, saya pernah punya keinginan memiliki perut sixpack. Keinginan itu barangkali umum bagi anak usia remaja yang libidonya lagi meluap-luap. Berbagai literatur tentang tata cara memperoleh tubuh ideal saya baca, entah di majalah maupun internet.

Namun langkah menuju itu ternyata tidak mudah. Memang ada suplemen yang membantu, tapi suplemen saja tidak cukup. Perlu pola makan yang teratur, perlu tubuh yang berisi untuk kemudian dibentuk. Sementara saya masuk kategori kurus, dan kurang olahraga.

Untungnya, fokus itu sedikit terpecah karena berbagai kesibukan. Selain sekolah, juga beberapa organisasi yang harus saya kelola. Lagipula, butuh ekstra keras untuk memiliki tubuh ideal, bahkan untuk menggemukkan saja tidak mudah.

Sampai terjadilah dialog dengan teman yang memang memiliki pemahaman baik dalam ilmu biologi. Kami sama-sama aktivis kerohanian Islam kala itu. Katanya, untuk apa sixpack? Kebutuhan kalori setiap manusia tidak sama, bergantung pada aktivitas, juga idealifikasinya. Orang-orang yang terbiasa bekerja keras memang butuh asupan kalori yang besar, seperti pekerja kasar lainnya.

“Tanpa perlu fitness mereka sudah dapat tubuh ideal,” katanya. Benar juga, lalu untuk apa harus sixpack? Harus punya bentuk tubuh ideal? Jawaban yang kadang agak naif adalah, agar sehat. Padahal jawaban aslinya, agar daya tariknya bertambah. Tentu, sedikit banyak, memiliki tubuh ideal akan memberikan kesan tersendiri, dibandingkan yang bertubuh kurus dan nampak kurang gizi.

Bagi saya itu penting. Meski sering kali saya dihujani kritik karena berpendapat demikian. Tapi bagi saya waktu itu, punya tubuh ideal adalah dambaan tersendiri, mungkin tidak terlepas juga dari respon orang. Baik teman, keluarga, guru, sampai tetangga. Mereka sering berpesan agar menambah porsi makan, biar tubuhnya agak berisi.

Apalagi setelah hijrah ke Malang, setelah didera berbagai aktivitas, konon saya tambah kurus, rambut makin gondrong, dan kulit tambah hitam. Komplit sudah.

Sementara sebagian orang berfikiran bahwa saya tipe yang jarang memperhatikan penampilan. Mungkin ada benarnya. Termasuk soal trend berbusana. Apalagi gaya rambut. Selama beberapa tahun saya potong rambut di tempat yang sama, dengan gaya yang sama pula.

Punya tubuh ideal adalah cara agar terhindar dari belas kasihan orang, yang mengira saya berpenyakitan, kurang gizi, dan semacamnya. Juga, tentu saja, menambah daya tarik tersendiri, disatu sisi juga bisa meningkatkan rasa percaya diri.

Tapi belakangan ini saya baru menyadari bahwa itu semua hanyalah mitos, kesadaran itu barangkali sedikit terlambat. Titik perubahan dimana saya mulai berani bicara di depan umum, mulai belajar bekerja sama dengan orang lain, mulai belajar memimpin suatu kepanitiaan hingga organisasi, hingga mulai tidak minder dengan berbagai kekurangan fisik.

Sebabnya bukan dari penampilan fisik. Tapi lebih pada kiprah dan pemikiran. Pemikiran bahwa orang respect pada kita bukan karena penampilan, melainkan dari sikap. Pola pikir yang bergeser itulah membuat saya semakin cuek dengan trend, atau godaan memiliki fisik yang menarik.

Memang tak ada salahnya untuk berusaha menjadi ideal, seperti yang telah dilakukan teman saya, yang dulunya kurus, kini menjadi padat berisi. Untuk memperoleh bentuk tubuh yang sekarang bukan hal yang mudah, katanya, bahkan harus rutin gym agar kepadatan tubuh terjaga. Belum lagi konsumsi suplemen, dan lain sebagainya itu.

Ribet kan? tentu ribet karena itu usaha dari yang kurus kemudian menjadi ideal. Beda halnya yang memang sudah dianugrahi tubuh bagus sejak lahir. Memikirkan kesehatan tubuh tetap perlu, meski tak harus selalu bagus. Dengan tubuh sehat maka hidup menjadi lebih produktif. Intinya itu saja. []

Blitar, 10 Januari 2017
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini