GAYA HIDUP DUNIAWI



Oleh: A. Mustofa Bisri

“Piye, Le; enak zamanku tho?!”
Pertanyaan di bokong truk dengan gambar pak Harto mesem itu setiap kali berkelebat mengusikku. Aku selalu teringat presiden yang nyaris seperti raja itu terutama saat ada peristiwa kegilaan terhadap dunia, seperti kasus-kasus Korupsi dan Suap-menyuap; Politik Uang; Pejabat Publik dan Artis yang ‘tertangkap tangan’; Orang Pintar yang dapat memperbanyak uang; dlsb.

Kegilaan terhadap dunia atau materi dimulai dari keinginan menjadikan hidup ini sejahtera, hingga keinginan hidup mewah. Lalu keinginan lebih dan langgeng hidup mewah serta berkuasa. Biasanya berakhir dengan hilangnya akal dan nurani. Hubbud dunya ra’su kulli khathiah. Berlebih-lebihan menyukai dunia adalah sumber segala kesalahan.

Negeri ini mengenal 2 (dua) presiden yang nyaris seumur hidup. Soekarno dan Suharto. Sambil ‘meledek’ Pemerintahan Soekarno dengan sebutan Orde Lama , kursi kepresidenan-nya pun diambil alih. Orde lama dikritik karena ‘mengangkat’ Politik sebagai Panglima. Alasannya: politik tidak membikin kenyang. Politik tidak enak. Lalu Suharto pun mengganti dengan ‘Ekonomi sebagai Panglima’. Pembangunan ekonomi semesta pun dimulai.

Adalah wajar bila saat akan membangun ekonomi, yang dicontoh dan ditiru adalah negara-negar yang maju ekonominya. Ibarat mau membuka warung, tentu yang dicontoh dan ditiru adalah resto yang maju. Sayangnya, kita ini –di samping merupakan ‘bangsa peniru’—apabila meniru tidak melihat dan mempertimbangkan diri sendiri. Mau meniru artis mancung India yang tampak cantik dengan anting besar di hidungnya, langsung niru tanpa mempertimbangkan hidungnya sendiri yang kecil dan pesek. Mau meniru peragawati Perancis yang tampak manis dengan rok spannya, langsung meniru pakai rok span; padahal tubuhnya ukuran jumbo. Melihat orang-orang Barat –yang memiliki 4 musim, termasuk musim dingin--memakai jas-dasi dan mantel, kita pun menirunya dengan bangga; lupa bahwa kita hidup di negeri tropis. Begitu dan seterusnya.

Ternyata saat Suharto dan orbanya mau membangun ekonomi Indonesia, agaknya hanya meniru begitu saja negeri-negeri maju di Barat (apalagi tentu saja negeri-negeri itu mau menghutangi); tanpa melihat dan mempertimbangkan jati diri sendiri sebagai negara dan bangsa. Pancasila pun kemudian hanya dijadikan ‘proyek pembangunan’. Maka yang terjadi pun praktek ekonomi kapitalis (Cuma disini dengan kapital utangan) dan menghasilkan masyarakat yang materialistis. Masyarakat yang berlebihan menyukai dunia. Harta dan pangkat atau uang dan kedudukan. Apalagi dalam soal duniawi ini, Suharto dan para pemimpin beserta keluarga mereka dengan sangat jitu memberi contoh dan teladan. Sehingga Hidup Sejahtera ditangkap bulat-bulat oleh banyak kalangan di masyarakat sebagai hidup kaya, berkedudukan, dan mewah. 

Anggota Dewan yang dulu hanya diberi ongkos transportasi, karena kerjanya ‘cuma’ menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol pemerintah; oleh Pemerintahan Suharto diberi gaji berlimpah, karena tugasnya jauh lebih berat, istiqamah menyetujui kehendak pemerintah atau diam. Maka sejak itu menjadi anggota parlemen dipandang sebagai mata pencaharian yang sangat menjanjikan. Pangkat dan harta teraup semuanya. 

Pendidikan pun tentu saja direncanakan dan dibangun atas asas ‘kehidupan duniawi’ model itu. Bukan atas dasar jati diri dan falsafah bangsa. Orientasi dan proses pendidikan semuanya bermuara kepada kehidupan dunia ini semata. Ijazah dan cari kerja atau cari kedudukan adalah hal paling pokok dan penting melebihi apa saja. Maka Pendidikan pun hanya lebih merupakan pengajaran dan boleh dikata tanpa mendidik. Hasilnya pun kebanyakan adalah orang-orang terpelajar yang tidak terdidik.

Kemudian fenomena cepat-kilatnya orang mendapatkan sesuatu kekayaan dan pangkat, melahirkan gaya hidup baru. Gaya hidup instan yang mengukuhkan kehidupan serba duniawi itu. Ingin cepat kaya, ingin menjadi kiai atau sarjana; ingin pelanggaran tidak dihukum, ingin jadi artis, hingga ingin menjadi pemimpin pemerintahan, maunya sekejap. Kun fayakun. (Fenomena Gatot yang ‘menjerumuskan’ banyak artis dan Dimas Kanjeng yang ‘menjerumuskan’ Marwah Daud dan banyak orang pintar lainnya, hanyalah contoh kecil dari akibat mentalitas duniawi dan gaya hidup instan ini).

Maka ‘ajaran hidup’ warisan tinggalan Suharto yang kemudian dilanjut-teruskan oleh murid-murid setianya ini belakangan menimbulkan masalah yang tak putus-putus. Dimulai dari persaingan kepentingan duniawi, rebutan kedudukan, dan keserakahan yang kemudian beranak-pinakkan korupsi, suap-menyuap, penipuan, pertikaian, hingga saling fitnah.

Menurutku, hendak melakukan Revolusi Mental, kita seharusnya melihat dan mengetahui lebih dahulu mentalitas kita selama ini. Lalu meninjau kembali dan mengkaji ulang pandangan kita selama ini, terutama tentang dunia dan tentang tujuan hidup kita di dunia ini. Dengan kata yang lebih singkat, kita perlu kembali ke jati diri kita sendiri. Kita harus kembali memandang dunia hanya sebagai persinggahan sebentar. Materi bukan segala-galanya. 

Kiai Husein Muhammad dari Pesantren Arjawinangun , dalam hal ini, secara tidak langsung menawarkan gaya hidup Zuhud. Ini memang resep manjur yang biasa diberikan para tabib rohani. Membalik gaya hidup. Tapi menurutku ini terlalu drastis dan ekstrem. Bagaimana masyarakat yang sedemikian menyintai dunia (bahkan tingkat cintanya kepada dunia sudah sampai ke taraf menghilangkan akal-sehat), disuruh zuhud? Bagaimana kalau kita mulai saja dari gerakan hidup sederhana? Kalau setuju, sekaranglah saatnya yang paling baik untuk memulai. Di Tahun Baru Hijriah ini, semoga Allah menolong dan membantu kita dalam rangka ‘hijrah’ dari berlebih-lebihan memandang dunia kepada kesederhanaan. ‘Hijrah’ dari menganggap materi sebagai segala-galanya kepada hanya sekedar sarana. Semoga Allah menolong dan membantu kita dalam melakukan kesibukan yang semakin mendekatkan diri kita kepadaNya. Amin.

Tulisan ini pernah dimuat  di "Jawa Pos".

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini