Perjalanan Menulis (bag. 2)





Ekstrakurikuler Jurnalistik MAN Kota Blitar, atau yang selanjutnya disebut Jurmalintar adalah organisasi pertama yang saya ikuti. Memang pada waktu SD saya pernah ikut Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu), namun bukan karena saya anggota pramuka, melainkan karena tidak ada siswa lain yang bisa diajukan menjadi peserta.

Dari empat SD di Kademangan Kab. Blitar, SD kami, SDN Kademangan 03, memang paling sedikit muridnya, paling sepi peminat. Bahkan ujian akhir sekolahnya pun harus ikut dua sekolah lain, yaitu di SDN Kademangan 5 yang bersebelahan dengan SMPN 02, dan SDN Kademangan 01 yang bersebelahan dengan SMAN Kademangan.

Ketika Tsnawiyah di MTsN Blitar, saya bahkan tidak ikut organisasi apapun. Jurmalintar benar-benar organisasi pertama yang saya ikuti, dan itupun bergerak di bidang kewartawanan. Selain mulai belajar tentang keorganisasian, saya pun juga belajar menulis, serta membuat liputan.

Sebenarnya, setahun pertama materinya begitu beragam. Dua kali dalam seminggu ada pertemuan rutin, pertemuan antar divisi setiap hari kamis/jumat, dan pertemuan umum setiap hari sabtu. Selain Jurmalintar saya ikut juga di beberapa ekskul, namun tidak begitu aktif. Selain materi kepenulisan, juga ada materi publik speaking.

Juga aktif mengurusi kegiatan kajian KeIslaman Kerohanian Islam (Rohis), serta menjadi anggota FKI (Forum Komunikasi Islam) yang merupakan gabungan dari Rohis beberapa sekolah di Kota Blitar.

Salah satu kegiatan FKI adalah kajian KeIslaman bergilir di Masjid sekolah yang tergabung di dalamnya. Rohis SMKN 1 dan SMAN 1 Blitar nampak aktif sekali waktu itu, meskipun bukan sekolah berlabel agama. Bahkan SMAN 1 Blitar berulang kali menjadi tuan rumah untuk kegiatan seminar KeIslaman. Salah satu narasumber yang pernah hadir adalah Prof. Dr. Zainuddin Maliki, yang kala itu mejabat sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Rohis dulu juga menerbitkan buletin. Saya lupa nama buletinnya, kalau tidak salah Iqro’atau kalam. Namun buletin tersebut tidak bertahan lama. Waktu saya kelas XII buletin sudah tidak terbit. Selain itu, minat para siswa pada jurusan kebahasaan juga kian menurun. Kelas bahasa angkatan setelah saya adalah kelas terakhir.

Salah satu jebolan rohis yang dulu mengelola Buletin, kini ada yang aktif di Majalah Hidayatullah. Namanya Yusuf, lengkapnya saya lupa. Biasa memanggilnya Akhi Yusuf, kadang Ustad. Setelah lulus Aliyah, Akhi Yusuf kemudian mengambil kelas bahasa Inggris di Pare. Setelah itu saya tidak tahu kabarnya, baru kemudian kami bertemu lagi pertengahan 2015, saat saya menjenguk adik-adik Jurmalintar. Saat itu Akhi Yusuf sudah aktif di Majalah Hidayatullah.

***
Praktek menulis berita pertama kali saya lakukan awal 2007, ketika mendapatkan tugas wawancara siswa senior yang baru saja memenangkan lomba atletik tingkat Jatim. Pada jam istirahat, saya datang ke kelasnya untuk minta ijin wawancara. Hp belum marak waktu itu, sehingga komunikasi masih dilakukan via surat atau menemui langsung.

Siswa senior yang bernama Azwar Anas tersebut bersedia diwawancarai sepulang sekolah. Wawancara tersebut atas permintaan Waka Kesiswaan. Dalam rapat bersama, Waka Kesiswaan ingin beberapa hal dimasukkan dalam majalah sekolah, termasuk siswa berprestasi.

Hasil wawancara itu kemudian saya tulis tangan, baru kemudian diketik melalui komputer organisasi. Berita yang sudah diketik berarti sudah lolos seleksi pembina. Artinya, pembina mau tidak mau harus membaca tulisan tangan, baru diberikan koreksi mana yang harus dibenahi dan mana yang bisa langsung diketik oleh Pimred. Ya, Pimred tugasnya juga sebagai juru ketik.

Ketika deadlinemajalah semakin mepet sementara masih kurang beberapa tulisan, saya termasuk salah satu yang ditodong untuk menulis artikel. Sebenarnya rubrik yang kosong itu disiapkan untuk menampung tulisan dari siswa, namun karena beberapa rubrik tidak ada yang mengisi, maka saya dan tim redaksi lain membuat artikel ala kadarnya. Kalau sekarang membaca artikel tersebut, rasanya malu sekali.

Tugas liputan yang pertama saya lakukan adalah berkenaan dengan tema besar majalah, yaitu menyoroti seputar moralitas remaja. Tulisan itu berjudul “Moral”. Menurut teori, liputan dilakuakan dengan mengumpulkan data-data dan sedikit opini dari narasumber terkait.

Karena liputan itu, saya kemudian keliling beberapa tempat yang biasanya menjadi lokasi “kenakalan”. Misalkan di taman kota, banyak yang masih berseragam sekolah namun bermesraan ria, juga bagaimana saya melihat aksi segerombolan siswa menghajar satu orang sampai babak belur. Entah karena motif apa, saya diminta senior untuk mencari tahu, tapi saya takut.

Meski sempat mengamati anak yang dihajar sampai babak belur tersebut, membuntuti sampai dekat rumahnya, yang tak jauh dari Tsnawiyah tempat saya dulu belajar. Rumahnya masuk gang sempit, baru saya ingat jika ternyata ia dulu adalah kakak kelas di tsanawiyah. []

Blitar, 7 Maret 2017
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini