Berguru Pada Kepala Editor
Kepala editor Majalah Suara Akademika bernama Pak Abdul Aziz, M.Pd. Ada banyak nama Abdul Aziz. Namun untuk membedakan beliau, atau jika ingin search di google, biasanya menyebut Abdul Aziz LSW.
LSW adalah Lingkar Studi Wacana. Sebuah LSM yang didirikan sekaligus diketuai oleh beliau. Dalam beberapa tulisannya di koran atau majalah, yang sering muncul adalah posisinya sebagai Direktur LSW. Awalnya LSW Malang, namun berkembang menjadi LSW Indonesia.
Sebagai seorang Kepala editor, Pak Aziz begitu teliti. Bahkan naskah majalah yang hendak diterbitkan, dikoreksi per halaman. Sebelum naik cetak pun, masih mengadakan koreksi bersama yang dihadiri oleh seluruh awak redaksi.
Dalam mengerjakan tugas liputan khusus harus tepat waktu. Pernah saya mendapatkan tugas liputan khusus OPAK 2012, namun masih kurang satu narasumber. Sementara sudah kelewat deadline. Satu narasumber tersebut ialah ketua SC (Stering Commite), yang memang susah sekali untuk ditemui. Beberapa kali ke kantor DEMA U, juga jarang ada.
Karena kelewat deadline, maka liputan itu batal dimuat. Ini gara-gara saya. Bahkan menyebut kinerja saya payah.
Namun pada beberapa kesempatan, Pak Aziz sering bercerita tentang bagaimana melakukan lobi ketika harus mewawancarai tokoh besar. Bahkan mewawancarai artis. Harus lewat manajernya, harus membuat janji dulu, bahkan pihak manajemen menimang-nimang, apakah wawancara itu cukup penting untuk si artis. Artinya, apakah bisa membantu mendongkrak nama artis tersebut.
Juga cerita pahit getirnya melakukan kunjungan wawancara dengan dana terbatas. Semisal, harus naik kereta api ke Jakarta, mencari travel dan sopir khusus untuk mengantarkan ke tempat-tempat narasumber, sampai diburu waktu dan terpaksa numpang mandi di Pom bensin.
Sebelum pergi ke Jakarta, biasanya sudah mengajukan surat permohonan wawancara lewat Fax. Tidak semua fax tersebut dibalas. Bahkan khusus wawancara artis, kadang mengambil waktu disela-sela break syuting. Saat itu kondisi artis sedang tidak berdandan. Setelah wawancara, pihak manajemen mengultimatum agar foto yang ditampilkan adalah foto genic. Kalau perlu pihak manajemen memberikan filenya. Artis harus selalu terlihat sempurna di media.
Disela-sela rapat redaksi, kadang saya juga bertanya soal gaya penulisan. Termasuk seringnya Pak Aziz menggunakan titik koma. Titik koma digunakan untuk dua kalimat yang berbeda, dengan maksud yang sama.
Ketika hendak terbit, Majalah Suara Akademika memasang undangan menulis bagi mahasiswa dan dosen. Undangan ditempel di mading-mading kampus. Pernah suatu ketika Pak Aziz menceritakan, ada seorang dosen yang mengirimkan opini, namun ternyata itu makalah. Ada belasan halaman. Padahal maksimal yang ditampung hanya 3 halaman.
Diskusi lain berkaitan tentang menulis liputan umum. Liputan umum adalah berita semacam feature yang diolah dari perspektif para tokoh. Penggaliannya tetap dengan model wawancara, namun pengolahannya berbeda. Sementara rubrik wawancara eksklusif diolah seperti tanya jawab.
Saya juga diminta untuk mengedit naskah yang masuk, meski tidak penuh. Ternyata mengedit memunculkan suasana bathin tersendiri. Ketika menulis, kita berfikir bagaimana mengolah hasil liputan, agar bisa dipahami pembaca. Sementara mengedit, penekanannya lebih pada hal teknis.
Hal-hal teknis sebagian adalah kesepakatan ahli bahasa. Mengedit lebih gampang, karena paradigmanya hanya membenahi, bukan mencipta. Beda rasa antara mencipta dengan membenahi. Orang membuat tulisan, fokus terbesarnya adalah mencipta, sehingga fikiran untuk membenahi baru muncul setelah tulisan jadi.
Kritik inipula yang kerap kali muncul di sekolah. Para guru lebih banyak yang mengoreksi perihal tanda baca, ketimbang unsur nilai. Bahkan untuk karya puisi sekalipun. Barangkali kita pernah melihat coretan-coretan merah pada sebuah puisi yang dibuat oleh siswa, hanya karena kurang tepat meletakkan tanda baca. Mungkin guru tersebut seumur hidupnya hanya belajar teori, tanpa sekalipun merasakan bagaimana gundahnya mencipta sebuah tulisan.
Banyak kemudian yang mengurungkan niat untuk menulis hanya karena takut salah membuat ejaan dan tanda baca. Padahal karya yang sudah terbit atau dimuat di koran nasional sekalipun, tidak ada yang benar-benar sempurna. Jika kita koreksi, pasti ada saja kesalahannya.
Bahkan ada sebagian penulis yang tidak mau karyanya diedit. Ada pula yang kekeh menggunakan ejaan lama. Dalam bahasa lisan, masih banyak orang mengucap “ken”. Tulisan-tulisan Soekarno di era 60-an, tentu sebelum pengukuhan EYD, masih sering menggunakan koma dan titik lebih dari tiga.
Pada opini-opini berbahasa Inggris seperti di New York Times, masih ada opini yang diselingi kata “haha” yang merupakan ekspresi kelucuan. Hal yang haram untuk diterapkan dalam karya ilmiah di Indonesia.
Kuliah non formal tentang kepenulisan itupun saya dapatkan dari Pak Aziz disela-sela tugas keredaksian. Tentu saja menambah wawasan, sekaligus pengalaman. []
Blitar, 24 Maret 2017
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini