Perjalanan Menulis (bag. 9)




Masuk tahun 2010, saya dipilih menjadi ketua kelas, setelah semester 1 menjadi wakil. Salah satu keuntungan menjadi ketua kelas, ialah kesempatan berinteraksi lebih dengan dosen. Jika dosen berhalangan hadir, biasanya ketua kelas yang dihubungi. Termasuk ketika dosen memberikan tugas untuk UTS maupun UAS.

Beberapa dosen ada yang berkualifikasi Doktor. Wawasannya luas, analisisnya tajam, dan gaya penyampaian materi yang ekspresif. Misalkan, ketika diajar Dr. Hadi Masruri, MA pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Saya yang masih kuper dan kurang bacaan ini dibuat takjub dengan materi yang disampaikan.

Dari semua mata kuliah semester II, hampir semua dapat A. Hanya satu yang dapat B+. Saking geregetan, saya hampir saja bertanya kepada dosen yang mengampu mata kuliah tersebut, kenapa tidak bisa dapat A sekalian? Ternyata setelah dicek, tidak ada yang mendapatkan nilai B+ selain saya. nilai B+ adalah nilai tertinggi. Lainnya dapat B, atau dibawah itu.

Dosen pengampu matkul itu, Dr. Wahid Murni, M.Pd, menjadi satu-satunya dosen yang tidak memberikan nilai A kepada Mahasiswa.

Padahal saya berharap betul mendapatkan nilai A. Karena pada waktu itu saya punya teman akrab dalam satu organisasi, namanya Rasikh Adila. Pada semester 1 dia mendapatkan IP sempurna. Semua mata kuliah dapat A. Padahal kuliahnya berat, Hukum Perdata Islam, atau Al Ahwalu Al Syakhsiah. Berbeda dengan saya yang jurusan Pendidikan. Jurusan yang kata sebagian orang, merupakan jurusan paling mudah perkuliahannya.

Harapan untuk bisa berkompetisi dengan Rasikh itupun pupus, karena pada semester berikutnya, tidak pernah lagi saya mendapatkan nilai setinggi itu. Karena selain kuliah, juga didera kesibukan yang lain.

Tahun 2010 pula saya punya kebiasaan baru, yaitu menjadi pembaca setia websitenya Prof. Imam Suprayogo. Karena belum punya laptop, saya sering mengerjakan tugas di warnet malam-malam. Selepas membuat tugas, atau sebelumnya, saya sempatkan membaca paling tidak 2 sampai 3 artikelnya. Baik yang ditulis hari itu, atau sebelumnya.

Pada saat saya mengetahui website Prof. Imam, didalamnya sudah ada sekitar 400-an artikel. Memang tidak semua artikel bisa saya baca, beberapa artikel lama saya baca karena judulnya menarik. Membaca artikel-artikel tersebut sekaligus membaca perjalanan hidup beliau, karena hampir semua artikelnya berbasis pengalaman sehari-hari. Bahkan kadang pula kilas balik cerita masa lalu.

Prof. Imam Suprayogo lahir di Trenggalek, Ayahnya KH. Hasan, adalah tokoh NU. Namun pengalamannya mengelola Perguruan Tinggi dimulai di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Prof. Imam bercerita pengalamannya selama di UMM. Tulisnya, dari awalnya 400 mahasiswa menjadi 40.000 mahasiswa. Mulai bekerja di UMM sebagai penjaga perpus, karyawan, dosen, dekan, sampai Pembantu Rektor I. Hanya saja takdir tidak sampai menghendaki beliau menjadi rektor UMM.

Bahkan beliau pernah menulis sedikit perbedaan mengelola lembaga swasta dan negeri. Dengan analogi sederhananya, Prof. Imam menjelaskan, semisal disuruh untuk belanja buku sebesar 50 juta, kalau di lembaga negeri akan berfikir bagaimana cara menghabiskan dana 50 juta tersebut. Namun kalau di lembaga swasta berbeda, bagaimana dana 50 juta tersebut, bisa diputar untuk dibelanjakan buku dengan total 100 juta. Karena lembaga swasta tidak seperti lembaga negeri yang mendapatkan subsidi penuh dari APBN.

Artikelnya yang lain berkisar hal-hal sederhana, seperti pertemuan dengan tamu yang berkunjung ke kampus, ketika mengisi ceramah di suatu tempat, sampai perenungannya ketika melihat orang angon bebek, ketemu topeng monyet, dlsb.

Membaca artikel dari Prof. Imam membuat saya tergerak untuk menulis juga. Meski belum punya laptop, namun tepat di depan pintu kamar mabna/asrama, ada rental komputer. Per jam Rp1.000,- setiap mabna memang disediakan rental komputer untuk mempermudah mahasiswa mengerjakan tugas, sekaligus ngeprint. Saya baru tahu kalau ngeprint di Malang itu murah sekali. Rp200 per lembar.

Karena rental, maka saya harus mematok tulisan selesai dalam satu jam. Kadang agar mengetiknya cepat, saya membuat konsep dalam secarik kertas, apa yang akan saya tulis dan meliputi hal apa saja. Konsep itu biasa saya buat disela-sela menunggu dosen datang, waktu luang, dan sebelum tidur.

Artikel 2-3 halaman harus selesai dalam satu jam. Waktu itu saya belum begitu mengenal esai, termasuk gaya kepenulisannya. Sehingga nulis ya nulis saja. Semuanya murni meniru Prof. Imam. Tulisan itu kemudian saya simpan dalam flashdiskdan mempostingnya ke Blog jika sedang ke warnet. Di mabna juga ada website untuk menampung tulisan mahasantri. Beberapa tulisan saya posting disana.

Tahun 2010 pula saya mengikuti interview menjadi pengurus HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan). Saya diterima dan menjadi anggota Divisi Kepenulisan dan Penerbitan. Kata seorang senior, keterpilihan saya dalam divisi tersebut dikarenakan pengalaman waktu Aliyah sebagai ketua ekstrakurikuler Jurnalistik. Gayung pun bersambut. Saya kini aktif di organisasi baru. []

Blitar, 15 Maret 2017
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini