SISI DAKWAHYANG TERLUPAKAN
Oleh : Khabib Mulya Ajiwidodo
(Wakil Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kota Blitar)
Banyak orang mengira bahwa berdakwah cukup dengan memberikan ceramah (Mauidoh Hasanah). Pikiran tersebut tidak hanya terjadi dikalangan bawah/ masyarakat awam, namun juga melanda kalangan (yang mengaku) aktivis Islam baik yang bergelar sang intelektual ataupun sang ustad. Mereka (kaum aktivis) banyak yang sudah merasa cukup dengan banyaknya jamaah yang hadir di acara pengajian, ta’lim, seminar atau yang sejenisnya. Jumlahnya jamaah yang hadir serta senangnya para jamaah pada materi yang disampaikan sudah membuat si aktivis islam itu senang dan bahagia.
Saat ini dimanapun tempatnya, khususnya di Masjid, materi tentang ritual keagamaan (fiqih) menjadi materi yang paling digemari oleh jama’ah. Bila disuatu ketika penceramah (aktivis islam) itu memberikan materi lain diluar fiqh, maka pertanyaan yang diajukan para jama’ah pada sesi tanya jawab tetap saja masalah fiqh.
Pemandangan Hal tersebut tak jauh beda di dalam forum diskusi/seminar/kolokium atau yang sejenisnya, mereka juga hanya sibuk berdiskusi tapi melupakan keadaan riil masyarakatdilapangan. Para aktivis Islam saat ini hanya terkesima dengan jamaah yang hadir di forum tersebut, padahal pada waktu yang bersamaan, diluar sana banyak kaum yang belum terjamah oleh dakwahnya para aktivis Islam. Kebanyakan mereka adalah kaum yang terpinggirkan, yang kondisinya melarat, dimelaratkan, terpinggrir atau sengaja dipinggrikan, sampai mereka yang tak mempunyai kuasa untuk mempertahankan hak-nya, hak untuk mempertahankan miliknya sampai hak untuk mempertahankan nyawa.
Dakwah dalam kacamata aktivis bukan hanya memyampaikan ceramah (bil lisan) tetapi juga dengan perbuatan (bil hal). Dakwah bil lisan sudah banyak yang melakukan, sedangkan dakwah bil hal masih sangat sedikit. Aktivis saat ini sangat jauh berbeda dengan aktivis Islam masa lalu, bila aktivis Islam masa lalu mampu mengartikan dakwah bil lisan dengan cara menyentuh langsung kalangan masyarakat buruh, petani, nelayan, aktivis saat ini jarang sekali yang mau atau mampu menyentuh mereka dengan misi dakwahnya. Misalnya kita sebut saja Haji Fahrudin, ketua pertama bagian Tabligh HB Muhammadiyah (sekarang PP Muhammadiyah), selain sebagai seorang dai, Ia juga seorang aktivis pergerakan, aktivis Pers, bahkan Ia juga secara total pernah mendampingi kaum buruh saat beraksi (demonstrasi dan pemogokan).
Selain itu juga ada Haji Misbah, seorang islam yang taat, pemikir, selain seorang juru ceramah, Ia juga seorang aktivis anti kolonialisme, kapitalisme dan penindasan. Belum lagi Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) juga sangat getol dalam membela hak-hak kaum melarat, yang saat itu tidak bisa sekolah, akhirnya bisa sekolah. Yang saat itu tidak bisa berobat bila sakit, akhirnya bisa berobat. Bersama jamaah dan murid-muridnya, Kiai Dahlan selalu disibuknya dengan berbagai aktivitas menolong masyarakat, Hal yang dilakukan Ahmad Dahlan tersebut terkenal dengan sebutan PKO (Penolong kesengsaraan Oemoem).
Kegiatan serupa, pada era sekarang ini sangat jarang kita temui. Kita bisa bertanya saat ini siapa aktivis Islam yang mau berdarah-darah membela kaum buruh yang terus tergerus oleh kapilatisme ? siapa aktivis Islam yang mau berkumpul, berbecek-becek dengan para petani yang lahan garapannya (sawah, ladang) semakin sempit karena direnggut oleh corporat raksasa sang lintah darat? siapa aktivis yang mau berpanas-panas di jalan raya membantu rakyat memperjuangkan hak-hak hidupnya. Siapa?.... dan Nyatanya para aktivis Islam sekarang masih kalah peduli sama LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang baru lahir kemarin sore itu.
Padahal Rosullullah Muhammad SAW sebagai panutan seluruh umat manusia (Uswatuh Khasanah), sudah banyak memberi contoh cara pemihakan terhadap kaum mustad’afin / kaum proletar berdasarkan pesan-pesannya dalam bentuk Hadist atau Firman Illahi yang terdapat di Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan mustadh’afin (kaum lemah dan dilemahkan)? Bagaimana keberpihakan al-Qur’an kepada nasib mereka?
Secara tekstual di salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa mustadh’afin dikaitkan dengan mereka yang tidak bisa berperang dikarenakan sakit atau umurnya terlalu tua. Beberapa kalangan mufassir (para ahli tafsir) telah mencoba menafsirkan kata-kata mustadh’afîn ini. Jika kita menggali dari istilah dalam Al-Qur’an dan dengan mengkaji akarkatanya, maka yang dikatakan mustadh’afîn atau pihak lemah atau yang dilemahkan, terkait erat dengan konteks ekonomi, konteks kemerdekaan, dan juga dalam konteks fisik.
Setidak-tidaknya tiga hal itulah yang bisa kita pahami dari kata mustadh’afin yang ada dalam Al-Qur’an. Berkenaan dengan mustadh’afin dalam konteks kelemahan ekonomi, Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah berikut: fuqara(orang-orang fakir), masakin (orang-orang miskin), sailin, al-mahrum (orang yang tidak mau meminta-minta walaupun dia papa, karena hendak menjaga kehormatan dan harga dirinya).
Juga ada ayat Al-Qur’an yang berbunyi wa fi amwâlikum haqqun li sailin wa al- mahrum .Artinya: Dan di dalam harta-harta kalian, terdapat hak bagi orang yang memintanya dan juga bagi yang tidak meminta karena menjaga kehormatannya.
Rasulullah juga menasehatkan supaya para pewarisnya dalam hal ini para ulama (orang-orang yang berilmu) supaya selalu berada di tengah-tengah kelompok dhu’afa dan mustadhafin. Bahkan dalam beberapa kitab siroh disebutkan bahwa Nabi SAW tidak segan-segan berbaur dengan kehidupan mereka sehingga kaum miskin yang saat itu mendominasi mekah akhirnya berbondong-bondong mengikuti jalan Nabi agung ini.
Pada waktu yang sama Qur’an berbicara tentang kewajiban membebaskan kaum mustadafin, menyantuni anak yatim fuqara dan masakin, membela budak-budak belian, para tawanan dan siapa saja orang malang yang bergelimang debu.
Dalam islam, Tuhan muncul tidak di belakang para raja, tetapi disamping mereka yang tertindas. “Dan kami wariskan kepada kaum yang tertindas seluruh timur bumi dan seluruh baratnya yang kami berkati “( QS. Al A’raf : 137 ).
Oleh karena itu Allah menjamin doa para orang-orang tertindas. Lalu apakah yang dilakukan nabi Muhammad untuk membebaskan kelompok masyarakat tertindas ini?
Nabi Muhammad melanjutkan risalah nabi-nabi terdahulu. Risalah Nabi Musa yang menyelematkan kaum mustadhafin dari cengkeraman fir’aun dan Risalah Isa as yang menggembirakan kaum fuqara dan masakin.
Nabi membangkitkan harga diri fuqara dan masakin, sebab mereka adalah kelompok masyarakat yang paling sering direndahkan, dicaci, dan dimaki. Untuk menumbuhkan harga diri kaum Muslimin dhu’afa ini, Rasulullah memilih hidup di tengah para hamba sahaya dan orang miskin. Ia digelari abul masakin.
Kepada sahabat-sahabatnya yang menanyakan tempat yang paling baik untuk menemuinya, beliau menjawab :” Carilah aku di antara orang-orang yang lemah di antara kamu. Carilah aku di tengah-tengah kelompok kecil di antara kamu”. Pada suatu kali, Sahabat Rasulullah menemukan beliau sedang memperbaiki sandal anak yatim, lain kali beliau terlihat menjahit baju seorang janda tua yang sama dengan hamba sahaya
Kini sudah saatnya para aktivis Islam dan Ulama (orang yang berilmu) untuk kembali mengisi ruang yang sudah lama tidak tergarap tersebut. Pemberdayaan, pemihakan dan pendampingan kepada orang yang tertindas tanpa melihat suku, ras, golongan dan agama menjadi visi dakwah mereka. Bukan sekedar diskusi, ceramah dan seminar, tetapi juga aksi nyata.
__________________
Penulis artikel ini adalah:
Orang kelahiran Watulimo Trenggalek, Aktivis muda Muhammadiyah Kota Blitar serta pernah menjadi ketua Cabang IMM Kediri.
Contaq person WA: 081331418034, FB: Khabib M Ajiwidodo
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini