Perjalanan Menulis (bag. 30)



Meliput Daerah Konflik


Ciri khas workshop Jurnalisme Keberagaman adalah praktek liputan ke area yang muncul benih-benih intoleransi, atau setidaknya, pernah terjadi kasus penolakan keberagaman. Misalkan, ada suatu daerah yang tidak bisa menerima kelompok tertentu, atau daerah konflik antar suku. Tentu liputan semacam ini bukan tanpa resiko.

Tantowi Anwari, atau biasa disapa Thowik, nyaris menjadi bulan-bulanan massa kelompok tertentu karena melakukan advokasi korban yang mengalami diskriminasi.

Kunjungan kami ke Rusunawa Puspo agro Sidoarjo tentu tidak seberapa dibanding dengan melakukan advokasi. Disana ada para pengungsi Syiah dari Sampang, yang dipindahkan dari GOR Tenis Sampang. Sebenarnya tidak semua orang boleh masuk kesana, apalagi dalam jumlah besar.

Saya satu kelompok dengan Zen, yang juga bagian dari Korban. Kehadiran Zen membuat perijinan sedikit lebih mudah. Disana kami juga bertemu Adek kandung Tajul Muluk—saya lupa namanya—, seorang perempuan cerdas yang menjadi narasumber utama setiap kali ada wawancara.

Tajul Muluk adalah tokoh sentral Syiah setempat yang kini diamankan Kepolisian. Menurut informan sekitar, semua bermula karena adanya persinggungan paham dan pendapat antara Tajul Muluk dan tokoh setempat yang berhaluan Ahlus Sunah Wal Jamaah.

Zen dan Adik Tajul Muluk menjadi figur yang penting, mengingat banyak dari pengungsi yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Sehingga dalam beberapa pertanyaan, sering kali dua orang itu harus menjelaskan, atau menjadi juru bicaranya.

Meskipun disana kami liputan, sebenarnya hampir dari kami tidak ada satupun yang menunjukkan diri tengah melakukan liputan formal. Kami harus terbiasa menggali data, bahkan hanya dengan berbincang biasa. Maka jangan heran jika suatu ketika, ada seorang Jurnalis yang nampaknya tidak melakukan tugas liputan, namun ia bisa menulis berita dengan detail dan rapi.

Ketika sampai di Rusunawa, Zen langsung masuk ke dalam, tidak ikut liputan. Kami Membagi beberapa tugas. Saya dan satu orang dari Jember—yang bisa berbahasa madura—berkeliling ke kamar-kamar, berbincang sederhana. Ada pula yang bertugas menggali data ke warung atau rumah warga sekitar rusun, untuk mencari tahu bagaimana respon warga sekitar terhadap kehadiran pengungsi dari Sampang ini.

Di sekitar lokasi, banyak orang misterius yang konon adalah intelejen. Seorang intelejen memang dibekali keahlian khusus untuk membaca situasi, karena ia menjadi informan negara.

Sembari naik turun tangga, saya mengamati suasana sekitar rusun, terutama pengungsi. Kamar-kamar yang ada hanya digunakan untuk istirahat. Makanan mereka disediakan oleh BPBD. Saya sempat melihat bagaimana proses masak di "dapur" BPBD. Ada panci dan wajan super besar, seperti yang biasa digunakan dalam program televisi “makan besar” yang dulu tayang di Trans7.

Hari itu menunya adalah cap cay. Kombinasi sayur mayur dari wortel, kubis, jagung putren, sawi putih, dan entah apa lagi. Di aduk dalam wajan besar. Bagaimana menakar bumbunya ya? Berapa banyak juga tepung maizena yang ditaburkan untuk mengentalkan kuah? Bathin saya.

Sementara di sekitarnya sudah ada beberapa dandang ukuran besar yang digunakan menanak nasi, juga tersedia kerupuk dalam beberapa rodong besar pula. Semua serba besar.

Liputan selesai setelah kami menjalankan shalat ashar di Masjid sekitar. Kepulangan dari Sidoarjo ke Malang disambut kemacetan panjang sekitar Lawang. Daerah ini memang sering macet kalau sore atau malam hari, karena menjadi jalur utama dari Malang ke Surabaya, Pasuruan dan Probolinggo.

Selepas Isya’ kami baru sampai di hotel. Perut sudah lapar. Karena meski sempat melihat proses “masak besar” di rusun, kami tidak memiliki hak untuk mendapatkannya. Itu adalah jatah pengungsi.

Namun kami besyukur karena sesampainya di hotel, kami langsung diperkenankan makan malam. Mengambil sendiri, dengan variasi menu yang beragam. Bukan bermaksud membandingkan, namun setelah kunjungan tadi, saya menyadari betapa penting arti kebebasan.

Itulah kenapa kita harus menjadi agen perdamaian, sejak dalam diri sendiri, dengan bersikap terbuka dan toleran kepada yang berbeda. Karena sebuah konflik, yang menimbulkan bencana sosial, menyisakan kepedihan yang mendalam.

Banyak yang kehilangan tempat tinggal, anak-anak terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan, kenyaman dan ketenangan terusik, kebebasan pun terampas. []

Blitar, 7 April 2017
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini