Perjalanan Menulis (bag. 34)






Berguru Ke Bandung
(6-7 April 2014)

Taksi biru mengantarkan kami ke salah satu hotel mewah dekat Cihampelas. Entah berapa uang negara yang keluar untuk membiayai perjalanan kami hari ini. Sejak dari Malang menuju Surabaya, dan naik pesawat kelas ekonomi. Belum lagi bermalam di hotel yang catnya dominan warna ungu itu.

Selesai urusan dari meja resepsionis, kepala editor menyerahkan sebuah kartu bewarna ungu. Ternyata kartu itu adalah kunci pintu kamar hotel. Saya sekamar dengan layouter. Baru kali ini membuka pintu seperti menggesek kartu kredit. Kartu itu juga digunakan untuk menghidupkan listrik di dalam kamar. Cukup memasukkannya ke kotak putih yang tertempel di tembok. Bim salabim. Lampu, AC, dan televisi pun nyala dengan sendirinya. Kita tinggal mengatur dengan remote yang tersedia.

Besok kami akan ke Universitas Katolik Parahiyangan (Unpar), untuk studi media kampus. Lusa, juga ada jadwal ke Universitas Padjajaran, namun hanya beberapa yang kesana.

Selepas ashar, kami berkumpul di lobi untuk menuju ke Paris Van Java (PVJ), salah satu pusat hiburan terkenal yang menjadi ikon kota Bandung. Padahal, itu hanya pusat perbelanjaan dan deretan cafe yang menyajikan beragam menu makanan. Beberapa menyediakan hiburan akustik dan band mini.

Sebenarnya di dekat hotel ada juga pusat perbelanjaan, yang dikenal dengan nama Ciwalk. Bahkan lokasinya tepat di depan pintu hotel. Entah pintu yang sebelah mana, karena ada beberapa pintu di hotel itu, selain pintu utama.

Ke PVJ, kami naik taksi kuning. Ada banyak taksi mangkal di sekitaran hotel. Ada pula taksi putih motif bunga. Ada angkot, ada bus kota. Setibanya di PVJ, tak berselang lama hujan turun begitu deras. Kami berteduh agak lama di teras, setelah sebelumnya keliling dan naik turun tangga eskalator. Ada eskalator menuju ke bawah, sepertinya pusat perbelanjaan itu punya ruang bawah tanah yang cukup luas.

Sebelum isya’, kami kembali ke hotel untuk shalat magrib. Setelah itu keluar lagi cari makan, sembari menikmati suasana malam. Seharusnya kami dapat jatah makan malam dari hotel.

Hujan pun semakin deras. Beberapa anak kecil berebut menawarkan ojek payung. Dengan bahasa sunda ala kadarnya, saya berkomunikasi dengan anak-anak kecil itu. Mereka tidak mematok harga untuk sewa payungnya. Tubuh mereka basah kuyup, karena jika payung di sewakan, mereka menguntit dari belakang sambil hujan-hujanan. Uang hasil ojek mereka masukkan kantong plastik agar tidak basah.

Di dekat hotel ada warung lalapan bebek, kami menuju kesana. Meski menunya lalapan bebek, namun warung itu nampak sederhana di antara deretan bangunan mewah sekitarnya. Ada banyak taksi mangkal di depan warung tersebut. Tidak semua taksi menyalakan argometer. Ada yang mematok biaya minimum dalam sekali jalan. Rata-rata biaya minimum adalah 25 ribu rupiah.

Malam itu kami sudah berpencar. Ada yang memilih pergi ke pusat perbelanjaan, ada yang menguatkan insting jurnalisnya dengan keliling gang-gang sekitar, ada juga yang naik taksi dan pergi entah kemana.

Saya memilih kembali ke hotel, jalan-jalan di dalam hotel. Selain kamar-kamar, di dalam juga ada cafe, salon, fitnes center dan kolam renang di lantai atas. Kecuali cafe dan lobi, semuanya sepi. Mungkin kalau malam sudah tutup.

***
Selepas sarapan, kami diantarkan taksi kuning lagi menuju kampus Unpar yang terletak di jalan Ciumbuleuit. Yang unik dari kunjungan ini adalah, kami mahasiswa Kampus Islam, sementara Unpar adalah Universitas Katolik. Bagi saya pribadi, ini akan menjadi pengalaman yang menarik dan bersejarah.

Kami kesana untuk studi Majalah Parahiyangan yang cukup eksis, baik dalam versi cetak, online maupun melalui media sosial. Sejauh ini, Suara Akademika sudah membuat portal online melalui website kemahasiswaan, dan download Majalah versi PDF. Tinggal untuk media sosialnya yang perlu dikuatkan.

Kami langsung disambut oleh divisi humas beserta awak redaksi Majalah Parahiyangan dan Media Parahiyangan. Acara pun dimulai dengan doa bersama. Suasana hening sejenak. Beberapa menangkupkan tangan di dada, sebagian dari kami menengadahkan tangan, khas cara berdoanya orang Islam.

Saya duduk agak menyempal, di deretan pengurus eksekutif Mahasiswa. Bandung yang dikenal sebagai kota fashion, sekilas terlihat dari penampilan Presiden Mahasiswa yang duduk tepat di samping saya. Tinggi, tegap, berkacamata, mengenakan kemeja yang lengannya dilipat sampai siku, dan gaya rambut jabriknya yang rutin tersentuh pomade.

Namun tidak semua terlihat fashionable, ada juga perempuan berambut panjang, dikuncir, berkacamata, agak gemuk, yang sepertinya tidak begitu memedulikan fashion. Meski demikian, ia yang paling paham seluk beluk pengelolaan majalah secara detail.

Sebagai Universitas Swasta, Unpar membagi kebijakan antara pengelola kampus dengan yayasan. Antara Yayasan, kampus, dan organisasi mahasiswa harus bisa berjalan berdampingan. Bahkan pengelolanya juga dilibatkan dari Badan Eksekutif Mahasiswa.

Itulah yang berangkali membedakan sistem pengelolaan majalah di UIN Malang sebagai kampus negeri, yang tidak memiliki yayasan. UIN Malang sendiri, termasuk salah satu kampus yang cukup eksis dalam penerbitan media. Misalkan, Infopub punya tabloid Gema, Kemahasiswaan memiliki Suara Akademika. Gema lebih menjadi media informasi, dan Suara Akademika lebih mengusung ide jurnalisme inspiratif. Suara Akademika punya rubrik wawancara, opini, resensi, dan sastra.

Belum lagi media yang dikelola LPM, yang meliputi buletin tempel, majalah mini, dan majalah besar tahunan. Beberapa Jurusan dan Fakultas juga menerbitkan sendiri majalah dan buletinnya.

Selama kurang lebih 165 menit kami berada di ruangan, berbincang banyak hal seputar penerbitan, sekaligus diskusi terbuka. Mulai dari soal pendanaan majalah, distribusi, hingga pengelolaan keredaksian.

Selanjutnya, kami diajak jalan-jalan mengelilingi Unpar. Melihat lebih dekat aktivitas mahasiswanya. Selintas teringat bahwa penulis favorit saya, Dee Lestari adalah alumnus kampus ini. Begitupun Tulus, penyanyi yang sedang hits saat ini. Tulus adalah sarjana arsitektur, yang kemudian banting setir menjadi penyanyi. Sementara Dee Lestari adalah sarjana ilmu politik, yang memulai karir sebagai penyanyi dan kemudian menjadi penulis.

Salah satu Profesor yang saya kagumi juga Guru Besar di kampus ini, yaitu Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto, yang pernah menyunting buku berjudul “Untuk Apa Seni”, serta merupakan pakar dalam bidang Filsafat Budaya. Prof. Bambang juga pernah menjadi juri untuk memilih kumpulan cerpen terbaik kompas, dan pernah juga memberikan endorsement untuk novel Supernova KPBJ.

Dari Unpar, kami kemudian bertolak ke pasar baru Bandung. Konsep pasar ini sekilas mirip pasar besar di Malang. Jalan menuju kesana agak memutar. Di pasar itu saya hanya membeli dua biji kaos untuk adik saya, dan beberapa makanan ringan.

Sembari menunggu yang lain berbelanja, saya mampir di warung tenda penjual siomay dan batagor. Hampir semua penjual batagor di seantero Indonesia menamakan batagornya, batagor bandung. Tak terkecuali di Blitar dan Malang. Hari itu saya benar-benar beli batagor di Kota Bandung, meski ternyata penjualnya asli Sukabumi.

Tak jauh dari lokasi saya mencicipi batagor, terdengar suara-suara yang menyebut nama Syahrini. Ada Syahrini ya?

“Itu keripik Syahrini mas,” jelas tukang parkir yang duduk samping saya. Selain keripik syahrini juga ada sale pisang SBY. Karena penasaran, saya membeli tiga bungkus keripik syahrini. Satu bungkusnya hanya 10 ribu. Duh, Pedasnya minta ampun.

Satu bungkus saya tinggal di kontrakan, dua bungkus saya bawa pulang ke Blitar. Semua orang pada protes karena pedasnya memang mencakar cakar lidah. Konon awalnya bernama kripik pedas khas Bandung, tapi karena Syahrini pernah datang dan membeli, maka namanya lebih familiar dengan kripik syahrini.

Begitu pun dengan sale pisang SBY. Tapi saya tidak membeli sale pisang itu, hanya mencicipi milik teman ketika di kereta api, saat perjalanan pulang ke Malang. Rasanya biasa saja, meskipun agak lebih tebal dan panjang dibandingkan sale pisang yang sering kita temui di warung-warung.

Giliran kripik syahrini, kenapa begitu pedas? Padahal syahrini adalah ikon maju mundur cantik. Bukan maju mundur pedas. []

Blitar, 16 April 2017
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini