Runtuhnya khilafahan Islam pada tahun 1924 menjadi pukulan
berat bagi masyarakat muslim. Akibatnya mereka menjadi terkotak-kotak dalam
lingkup negara yang tak terkoneksi baik secara administrasi maupun ideologi. Parahnya,
ilmu keislaman baik teori dan praktisnya, baik yang duniawi atau ukhrowi yang
dulu diikat dalam satu worldview keislaman kemudian juga menjadi
tercerai-berai.
Namun kini gelombang dan seruan dari berbagai organisasi dan
pergerakan untuk mengembalikan kejayaan islam dalam naungan ke-khilaffahan
semakin bingar terdengar. Meskipun satu dan yang lain seringkali juga baradu
otot dan dalil tentang bagaimana dan dari mana memulainya.
Situasi bertambah runyam ketika satu dan yang lain saling menyalahkan. Belum lagi
ketika ada penumpang gelap yang menggunakan situasi tertentu untuk mengeruk
keuntungan diri sendiri. Padahal jika mereka mau membaca sejarah, mau melek
literasi, mereka akan menemukan pejuang-pejuang Islam yang rela berdarah-darah
dan kehilangan harta benda demi tegaknya Agama Islam.
Quantities Overlaping
Pertumbuhan umat Islam dewasa ini semakin hari semakin positif.
Hal itu bisa dibuktikan dari data-data yang dipublikasikan oleh beberapa
lembaga independen yang merekam tentang semua jejak perkembangan agama-agama
besar dunia.
Data:www.tirto.id |
Menurut data yang dirilis oleh tirto.id diperkirakan populasi
masyarakat Islam hampir sabanding dengan penduduk kristen didunia ditahun 2050.
Hal itu tentu saja membanggakan jika yang kita inginkan hanya jumlah.
Data:www.tirto.id |
Data diatas menunjukkan bahwa ternyata pertumbuhan
Agnostik/Ateis bahkan lebih dominan pada rentang 40 tahun yang akan datang.
Jumlah pertumbuhan mereka sampai 97% lebih banyak dari pada orang yang masuk
Islam yang menurut perkiraan hanya akan tumbuh 12.6%.
Namun demikian pertumbuhan dan geliat keislaman ini bisa kita
lihat secara kasat mata di masyarakat Indonesia dari pada penganut Ateis/Agnonostik.
Budaya berhijab syar’i bahkan mulai meluas di seantero pojok-pojok keartisan
dan menghiasi industri-industri hiburan. Tapi sayangnya bersamaan dengan itu
pula kita menjadi sangat familiar dengan tontonan perempuan berhijab panjang
yang dengan santainya berduan dengan lawan jenis mojok ditempat sepi tanpa
ikatan pernikahan.
Membangun sisi-sisi outcome dan segala sisi tampak
memang lebih mudah jika dibanding dengan membangun inner attitude.
Buktinya, membangun jiwa untuk bersabar saat ditimpa bencana, menahan diri
untuk tidak ngrasani orang, menjaga diri untuk tidak memark-up anggaran
lebih berat kita lakukan dari pada menutup aurat di tengan budaya K-pop seperti
sekarang.
Siapa Penumpang Gelap dalam Bahtera?
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
Rasulullah pernah mengilustrasikan agama ini dengan sebuah perahu. Beberapa
orang didalamnya ada yang dengan sengaja melubangi perahu untuk mengail
keuntungan dari laut. Padahal disaat yang sama para penumpang yang lain
berusaha menjaga perahu agar tetap laju dan seimbang.
Ilustrasi yang diberikan Rasulullah itu cukup menarik dan
aplikatif dijiadikan muhasabah sepanjang zaman untuk mengukur posisi kita dalam
bahtera besar agama ini. Dari sana kita bisa mengukur diri kita sendiri, apakah
selama ini kita sudah berislam dengan benar? Apakah pemahaman kita tentang
agama ini sudah sesuai dengan pemahaman orang-orang terbaik agama ini (salaf
salih)?
Dalam sebuah kesempatan Imam Malik bin Anas (Imam Madzhab
Maliki) pernah berujar:”laa yashluhu hadizihil ummah illa bi ma solaha bihi
awwaluha” Ummat ini, bahtera keislaman ini tidak akan pernah akan sampai
tujuan jika tidak meneladani apa yang telah dicontohkan oleh generasi awalnya,
generasi terbaik ummat.
Sadar diri dan sadar ideologi tentu saja akan menyadarkan
posisi sebenarnya dalam agama kita ini. Apakah dalam bahtera ini kita termasuk
bagian yang santai-marai (mu’tadil) atau kita adalah orang yang penuh
inisiatif dan pelomba (sabiqun bil khairat) atau malah kita hanya jadi
penumpang gelap yang merusak bahtera?
Berislam Dengan Waras
Syafi’i Antonio dan Hermawan
Kertajaya dalam sebuah buku berjudul Marketing Syariah membagi dua tipologi
konsumen produk syariah menjadi dua: Pertama: Market Logical.
Tipologinya adalah mereka yang ketika memlih produk tidak hanya karena
halal-haramnya, tapi juga added value dari produk yang ditawarkan.
Kedua: Market
Emosional. Tipologi golongan yang kedua ini adalah mereka yang merasa terikat
erat dengan hukum halal-haram dari sebuah produk. Gampangane ngomong
mereka ini rela tidak menikmati fasilitas dulu asal halal-haramnya bisa mereka
jaga dengan sempurna.
Kedua tipologi yang disebut oleh
dua pakar yang berkolaborasi itu tentu saja nggak ada salahnya sama sekali. Toh
itu semua pilihan, lagi pula nggak dilarang Tuhan juga. Meskipun kalau pilih
ideal kita pasti bakal pilih menggabungkan keduanya. Haram-halal sudah pasti,
jasa dan layanan juga OK punya.
Nah, jadi yang mana yang salah? Again
and again, yang salah disini adalah mereka yang masuk dalam barisan
perjuangan umat Islam baik dalam politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dakwah
dan lain sebagianya, tapi hanya menjadi penumpang gelap saja.
Tipikal mereka adalah menggebu-gebu
dalam perjuanagan yang dilakukannya, bukan karena mereka ingin agama ini tegak
sempurna, tapi ya karena ada keuntungan besar disana. UUD gitu lah. Ujung-ujungnya
Duit.
Mereka sampai rela mencari-cari
dalil ini-itu, ucapan ulama’ dari sini dan situ, bukan untuk memenangkan Islam,
tapi ya untuk memperkaya diri mereka sendiri.
Brand mereka menggunakan syariah, politiknya
mereka sebut Islam, pergerakanya mereka imbuhi kata syariah. Tapi lagi-lagi,
mereka menggunakan semua itu untuk saku-doku mereka sendiri. Lha apa sulitnya toh
cuman memberi prefik dan sufik atau label syariah ini dalam
sebuah brand?
Hal ini tentu Jauh sekali dengan
apa yang dilakukan sahabat mulia dan para pejuang Islam terdahulu.
Kaya gitu mau disebut pejuang Islam
sesungguhnya. Situ Waras???
1 Comments
Autokritik bagi para aktivis. Namun tidak ada yang perlu dipersalahkan karena Islam memang rahmatan lil alaamiin. Keunggulan sistemnya memberi rahmad bagi siapapun. Apakah sekedar dunia atau tembus ke akherat kembali ke amal perbuatan masing-masing.
ReplyDeleteTinggalkan jejak komentar di sini