Jalan Ber-Muhammadiyah (bag. 2)





Dari Paguyuban Srengenge ke Majelis Pustaka dan Informasi
 
oleh A Fahrizal Aziz
Masuk ke Muhammadiyah melalui jalur IMM akhir-akhir ini saya rasakan sebagai sebuah kemudahan tersendiri, dibanding misalkan masuk dari jalur yang lain. Meskipun ini tidak bisa dijadikan patokan secara umum.

Jalur IMM adalah jalur akademisi. Dunianya ada di kampus, yang kesehariannya dihadapkan pada diskursus keilmuan. Jadi, misalkan membuat kegiatan yang berupa kajian, seminar, atau diskusi keilmuan, adalah hal yang biasa. Karena memang wilayahnya disitu.

Dulu, waktu silaturahim ke rumah Pak Handoyo, ketua Ranting Muhammadiyah Sumbersari, kami para pengurus IMM UIN Malang “tidak direstui” saat hendak melakukan kegiatan bakti sosial anak jalanan. Padahal apa yang salah? Bukankah ini merupakan kegiatan yang baik?

“Tempat kalian di kampus,” kata Pak Handoyo. Memang tidak ada pembatasan dimana kegiatan harus dijalankan, namun karena IMM, maka fokuskan saja di kampus atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kampus. Kalau ingin kegiatan pada ranah sosial yang lebih luas, bisa lewat Pemuda Muhammadiyah atau Muhammadiyah nantinya.

Ucapan Pak Handoyo tersebut tentu tidak bermaksud membatasi gerak kami di IMM, namun mengingatkan kembali bahwa ber-Muhammadiyah punya banyak jalan, tidak hanya sampai pada IMM. Sementara IMM, memang Ortom yang khusus dibentuk untuk mewadahi Mahasiswa.

Tugas utama Mahasiswa adalah belajar. Kalaupun ada Mahasiswa yang sambil bekerja mencari uang, pekerjaannya tersebut hanya bersifat sampingan. Pekerjaan utamanya tetaplah belajar : kuliah, membaca buku, menulis, dsj.

Ini berkebalikan, jika nanti sudah hidup bermasyarakat. Tugas utamanya adalah bidang pekerjaan yang ia geluti. Itulah mengapa, saya berfikir andai masuk Muhammadiyah melalui jalur Amal Usaha misalkan, sementara—sebelum menjadi pengelola Amal Usaha—tidak aktif atau bahkan tidak mengenal Muhammadiyah sama sekali.

Memang kerap kali muncul pro kontra diantara Pimpinan Muhammadiyah sendiri, bahwa karyawan AUM tersebut seharusnya otomatis menjadi kader Muhammadiyah atau agak dipaksa untuk mau juga mengurus Muhammadiyah, misalkan di ranting atau cabang tempat ia tinggal.

Namun ada juga yang tidak sepakat, bahwa pengelola AUM, tugas utamanya adalah mengelola AUM. Membesarkan AUM berarti juga ber-Muhammadiyah. Meski kadang-kadang ada juga pengelola AUM yang menggerundal ketika Muhammadiyah minta dana, padahal AUM itu ada karena Muhammadiyah.

Lain halnya jika langsung masuk Muhammadiyah, entah ranting, cabang, atau bahkan daerah. Ber-Muhammadiyah tentu bukan tugas utama, tugas utamanya mencari nafkah. Ber-Muhammadiyah bisa nomor dua, tiga, empat atau seterusnya.

Untuk itu, agar ber-Muhammadiyah sejalan dengan tugas utamanya, kadang program yang dijalankan adalah yang berkaitan dengan penguatan maisah (pendapatan). Misalkan dengan menjalankan program ekonomi tertentu. Program semacam itu penting karena program mendasar.

Untungnya konteks dakwah Muhammadiyah itu dimensinya luas, tidak sebatas di Masjid-masjid. Sehingga, mengeloa Amal Usaha, membesarkan bisnis melalui program majelis, merupakan bagian integral dari Muamalah duniawiyah yang sudah di shahihkan melalui Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Warga Muhammadiyah, yang mana urusan Muamalah duniawiyah menjadi elemen penting disamping Aqidah, Akhlak dan Ibadah.

Pemikiran itulah yang membuat saya agak berfikir ulang, jika misalkan hendak bergabung dengan Muhammadiyah. Apa kiranya yang bisa saya perbuat? meskipun ada beberapa Majelis yang mungkin memberikan ruang bagi saya, seperti Majelis Pendidikan Kader dan Majelis Pustaka-Informasi. Namun kedua Majelis ini kerap kali terlantar.

Selain karena kurang laku, kedua Majelis tersebut kadang memang kurang secara langsung menyentuh sisi kehidupan warga Muhammadiyah dibandingkan beberapa Majelis lain. Seperti Majelis PKU yang secara tajam membidangi Amal Usaha bidang Kesehatan. Majelis Dikdasmen yang mengurusi Sekolah-sekolah Muhammadiyah, Majelis Ekonomi yang membawahi beberapa Koperasi yang tentu sangat penting diakses dalam rangka bantuan pendanaan dan investasi.

Atau juga Majelis Tabligh yang pasti dicari-cari karena Masjid atau Musholla membutuhkan beberapa penceramah untuk Khotbah Jum’at atau Kajian ke-Islaman. Meski ada juga Majelis yang memiliki tugas spesifik, seperti Majelis Wakaf yang bertugas melakukan sertifikasi tanah milik Muhammadiyah agar kedepan tidak bermasalah dengan hukum.

Tapi mau bagaimana pun, orang seperti saya memang ruangnya di dua bidang tersebut. Apalagi kiprah dan pekerjaan impian saya nantinya ada di bidang media dan tulis menulis, sehingga agak lebih mudah mengartikulasikan diri di bidangnya. Memang pada akhirnya semua akan kembali pada minat dan kecenderungan masing-masing.

Itulah mengapa, sekembalinya dari “pengembaraan ilmu” dari Kota sebelah, saya beserta Khabib M. Ajiwidodo dan Atim Purnama membuat wadah bernama Paguyuban Srengenge, yang lokusnya di kajian pemikiran dan kepenulisan. Sementara Kang Khabib dan Kang Atim kala itu—setahu saya—masih di Pemuda Muhammadiyah, sebelum akhirnya masuk Majelis pasca Musyda 2015 lalu.

Kang Khabib masuk Majelis Pendidikan Kader PDM Kota dan Kang Atim masuk di Lembaga Dakwah Khusus PDM Kab. Seperti sudah saya prediksi sebelumnya, sangat kecil kemungkinan kami masuk diluar Majelis atau Lembaga itu.

Sementara saya masih fikir-fikir. Kata Kang Atim, saya terlalu banyak mikir. Mau gabung ke Pemuda mikir dulu, mau masuk ke Majelis juga masih mikir. Bukannya apa-apa, hanya saja saya masih berfikir, apa gerangan kontribusi yang bisa saya lakukan jikalau seandainya bergabung. Lagipula, saya orang baru, belum tahu suasananya. Belum genap setahun kembali ke Blitar. Butuh belajar “membaca” realitas.

Sampai kemudian, selepas acara bedah buku Muhammadiyah Jawa di LEC Garum, Pak Basori Adi mengajak saya untuk bergabung ke Majelis Pustaka dan Informasi. Entah beliau dapat kabar darimana kalau saya memang bekas wartawan, meski wartawan kelas teri. Atau setidaknya, tahu darimana kalau saya suka menulis.

Mungkin dari website Paguyuban Srengenge yang baru rilis semingguan, yang dalam waktu enam bulan berganti nama 3 kali. Namun yang terakhir, www.srengenge.id, insyallah tidak berganti lagi. []

Blitar, 2 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini