Budaya menulis harusnya tumbuh subur di Sekolah, atau Kampus. Namun tak jarang justru banyak siswa yang menyatakan berhenti menulis, karena “perlakuan” tidak enak dari guru. Semisal, ketika guru “membantai” karyanya karena tidak memenuhi standart ejaan yang ada.
Guru yang semacam itu, biasanya adalah tipe guru yang over teoritis, namun tidak pernah merasakan bagaimana proses membuat sebuah tulisan. Bisa jadi, ketika guru tersebut membuat sebuah tulisan, hasilnya justru lebih kacau. Tapi guru juga tidak bisa disalahkan, karena itu memang tugasnya.
Saya teringat seorang anak yang kapok menulis hanya karena puisi yang dibuatnya penuh dengan coretan bolpoin merah. Ada saja yang salah, entah karena kata yang tidak lengkap, tanda baca yang kelebihan, sampai paragraf yang menurutnya keliru. Mencari kesalahan memang pekerjaan yang mudah.
Namun alangkah baiknya, menulis tidak selalu dinilai dari segi teknis. Apalagi bagi pemula. Karena masih pemula, tentu akan banyak sekali kesalahan yang ditemukan. Tapi paling tidak, kita memberikan apresiasi yang mendalam.
Bagi yang pernah merasakan menulis, akan tahu bagaimana proses kreatif yang terjadi. Bagaimana fikiran dan perasaan terlibat hampir bersamaan. Bagaimana jiwa terhanyut dalam suasana magis ketika berkata-kata.
Artinya, selain hanya merangkai atau mematut-matut kata, menulis merupakan proses kejiwaan yang hanya bisa dirasakan orang yang pernah melakukannya. Kita mungkin dengan mudah, atau seenak hati mengomentari.
Untuk itu, perlu banyak guru yang tidak hanya tahu, tapi juga peka terhadap hal ini. Tanpa disadari, banyak yang semangat menulisnya patah, justru di tempat yang seharusnya kegiatan itu tumbuh subur. Ibarat kelaparan di lumbung padi.
Namun sebaliknya, guru yang punya tingkat apresiasi baik terhadap kegiatan menulis, bisa dengan cepat menghidupkan kegiatan tersebut karena memiliki instrumentnya. Jadi siswa tidak perlu menambah jam khusus untuk misalkan, les menulis atau bergabung dengan komunitas menulis.
Sekolah bisa melakukannya, tinggal bagaimana guru sebagai ujung tombak pendidikan mengaplikasikannya. []
1 Mei 2017
A Fahrizal Aziz
Guru yang semacam itu, biasanya adalah tipe guru yang over teoritis, namun tidak pernah merasakan bagaimana proses membuat sebuah tulisan. Bisa jadi, ketika guru tersebut membuat sebuah tulisan, hasilnya justru lebih kacau. Tapi guru juga tidak bisa disalahkan, karena itu memang tugasnya.
Saya teringat seorang anak yang kapok menulis hanya karena puisi yang dibuatnya penuh dengan coretan bolpoin merah. Ada saja yang salah, entah karena kata yang tidak lengkap, tanda baca yang kelebihan, sampai paragraf yang menurutnya keliru. Mencari kesalahan memang pekerjaan yang mudah.
Namun alangkah baiknya, menulis tidak selalu dinilai dari segi teknis. Apalagi bagi pemula. Karena masih pemula, tentu akan banyak sekali kesalahan yang ditemukan. Tapi paling tidak, kita memberikan apresiasi yang mendalam.
Bagi yang pernah merasakan menulis, akan tahu bagaimana proses kreatif yang terjadi. Bagaimana fikiran dan perasaan terlibat hampir bersamaan. Bagaimana jiwa terhanyut dalam suasana magis ketika berkata-kata.
Artinya, selain hanya merangkai atau mematut-matut kata, menulis merupakan proses kejiwaan yang hanya bisa dirasakan orang yang pernah melakukannya. Kita mungkin dengan mudah, atau seenak hati mengomentari.
Untuk itu, perlu banyak guru yang tidak hanya tahu, tapi juga peka terhadap hal ini. Tanpa disadari, banyak yang semangat menulisnya patah, justru di tempat yang seharusnya kegiatan itu tumbuh subur. Ibarat kelaparan di lumbung padi.
Namun sebaliknya, guru yang punya tingkat apresiasi baik terhadap kegiatan menulis, bisa dengan cepat menghidupkan kegiatan tersebut karena memiliki instrumentnya. Jadi siswa tidak perlu menambah jam khusus untuk misalkan, les menulis atau bergabung dengan komunitas menulis.
Sekolah bisa melakukannya, tinggal bagaimana guru sebagai ujung tombak pendidikan mengaplikasikannya. []
1 Mei 2017
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini