Bahasa Indonesia di Hari Kemerdekaan Amerika

Ini adalah catatan Pradana Boy ZTF ketika menghadiri perayaan kemerdekaan Amerika Serikat di Kota Chesterfield. Selamat membaca

Bahasa Indonesia di Hari Amerika

TANGGAL 4 Juli 2017, tidak ada agenda formal di kelas untuk para peserta kursus singkat Study of the U.S. Institute bidang Pemikiran Politik Amerika. Rupanya hari itu adalah hari libur nasional, tepatnya libur dalam rangka merayakan kemerdekaan Amerika Serikat. Masyarakat AS sering pula menyebut peringatan hari kemerdekaan ini dengan Fourth of July. Meskipun tidak ada agenda resmi, namun kami  diajak untuk secara langsung merasakan suasana perayaan kemerdekaan AS di sebuah kota kecil bernama Chesterfield. Kota ini lebih kecil dan lebih sepi dari Amherst. Ketimbang perkotaan, Chesterfield lebih tepat disebut bersuasana pedesaan.

Berjarak sekitar 20 miles dari Amherst, perjalanan ditempuh dengan mobil dalam waktu sekitar 35 menit. Oh ya, sebelum lebih jauh bercerita, saya ingin berbagi informasi bahwa untuk jarak, ukuran yang digunakan di Amerika Serikat bukan KM (kilometer), melainkan miles yang disingkat dengan Mi. Karena sudah terbiasa dengan ukuran KM, agak sulit bagi saya untuk melakukan konversi dari KM ke miles itu. Tetapi secara hitungan kasar, jika dikonversi, 1 mile sama dengan kurang lebih 1,6 KM. Jadi dengan ukuran miles itu tadi, jarak antara Amherst ke Chesterfield adalah sekitar 32 kilometer.

Hal yang suka ketika melakukan perjalanan antarkota di Amerika Serikat adalah saat melintasi suasana alam yang hijau: padang rumput yang luas, pohon-pohon yang rimbun dan sungai yang jernih. Baru beberapa kilometer keluar dari Amherst, saya yang kebetulan duduk dekat jendela, tidak bisa melewatkan begitu saja pemandangan yang begitu mempesona. Di kanan dan kiri jalan raya, pohon-pohon hijau tumbuh begitu rapat. Melintasi gugusan pohon itu, kemudian pandangan mata saya terpaku pada hamparan tanah luas yang dikelilingi oleh pagar kayu cukup tinggi, dengan rumput yang tumbuh lebih lebat dan tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya. Ternyata tempat itu adalah lokasi peternakan berbagai hewan: kuda, sapi, kambing, dan domba. Binatang-binatang ternak itu dengan leluasa makan rumput kapan saja, karena lokasi itu bukan hanya tempat mereka mencari makanan, tetapi sekaligus sebagai tempat tinggal.

Jalanan lengang, selengang suasana dalam mobil van yang membawa kami. Pagi itu sebagian besar peserta baru saja menikmati sarapan pagi, sehingga perut yang kenyang menjadikan mereka mengantuk ketika dibuai oleh goncangan lembut kendaraan. Saya jarang sekali menikmati sarapan. Ini karena persoalan menu. Sebenarnya ada dua restoran di dalam kampus University of Massachusetts yang menjadi andalan saya, yakni Franklin Dining Hall dan Hampshire Dining Hall. Di kedua restoran ini, kami bisa makan secara gratis dan sekehendak hati, karena biaya makan telah dibayarkan oleh sponsor kepada pihak universitas. Restoran yang disebut terakhir ini lebih memikat karena pilihan makanan yang sesuai dengan lidah Asia sangat banyak. Keduanya menyediakan makanan halal atau setidaknya gluten free, yakni makanan yang tidak mengandung minyak babi.

Kenapa saya jarang menikmati sarapan? Pada pagi hari, kedua restoran ini sama-sama menyediakan menu minimalis. Pagi hari biasanya yang tersedia adalah aneka roti dengan salad, scramble egg atau telur orak-arik, dan kentang goreng. Jika pas agak mujur saya bisa menemukan bubur ayam, meskipun dengan cita rasa yang sedikit berbeda. Maka, seperti kebiasaan di pagi hari yang lain, pagi hari itu, saya tidak menikmati sarapan.

Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan melewati hamparan padang rumput dan hutan yang lebat, sampailah kami di Chesterfield. Sebenarnya hari itu suasana cukup panas. Tetapi memasuki Chesterfield tiba-tiba hawa sejuk menyapa. Rupanya, hawa sejuk itu berasal dari hutan lebat yang dipenuhi pohon-pohon yang sangat tinggi yang mengelilingi Chesterfield. Berjalan sekitar setengah kilometer dari lapangan luas tempat kendaraan diparkir, rupanya di sepanjang jalan kota kecil itu telah berkumpul masyarakat dari berbagai lapisan dan berbagai usia. Tidak sedikit penduduk kota kecil itu yang membawa kursi dari rumah masing-masing. Mereka telah bersiap menyaksikan parade perayaan kemerdekaan Amerika Serikat. Persis seperti masyarakat Indonesia yang selalu semangat menyaksikan arak-arakan karnaval pada perayaan ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus.

Lalu kapan Amerika Serikat memperoleh kemerdekaannya? Cerita tentang kemerdekaan Amerika adalah episode panjang. Sejarah Amerika Serikat sebagai sebuah negara seringkali diperdebatkan. Ada pandangan yang menilai sejarah itu dimulai sejak Christopher Columbus menemukan benua Amerika pada 12 Oktober 1492. Namun, sebagian ahli sejarah merujuk awal Amerika Serikat kepada awal penjajahan Eropa di benua ini. Pada tulisan berjudul Matahari yang Tak Pernah Terbenam, saya telah sedikit menjelaskan tentang bagaimana Imperium Inggris Raya menguasai Benua Amerika pada abad ke-17. Pada saat itu, Inggris berhasil mendirikan sebuah koloni yang bernama Virginia.

Setelah berhasil mendirikan Virginia, Inggris kemudian mendirikan sebuah koloni baru yang bernama New England. Dalam sejarah, para pendiri New England sering disebut sebagai pilgrim, yakni sekelompok orang yang melakukan perjalanan untuk sebuah tujuan suci. Karena orang-orang yang menghuni Koloni Virginia dan New England, berasal dari kelompok yang berbeda, maka kedua koloni ini menunjukkan situasi yang berbeda. Jonathan Beagle, guru besar sejarah Amerika dari Western New England University, Amerika Serikat, menjelaskan perbedaan-perbedaan itu. 

Virginia merupakan wilayah yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi dan modal atau yang sering disebut dengan capitalist venture. Pada masa-masa awal pendudukan itu, Virginia dihuni oleh 90 persen laki-laki dan banyak di antaranya adalah bujangan. Karena kondisi yang semacam ini, maka salah satu persoalan yang terjadi adalah tidak adanya stabilitas, dan lahirnya orientasi individualistik di kalangan penduduk Virginia. Berkebalikan dengan kondisi di Virginia, New England merupakan wilayah yang bersifat agamis, karena para pilgrim yang mula-mula menghuni wilayah ini adalah kamu Puritanis dari kalangan Protestan. Karena pada umumnya para pilgrim ini membawa serta keluarga, maka situasi di New England bersifat kekeluargaan dan karena itu stabilitas menjadi baik. Karena adanya orientasi pada keluarga ini pula, lalu hubungan sosial di Koloni New England bersifat komunalistik.

Dalam perkembangannya, Inggris berhasil mendirikan tiga belas koloni di wilayah timur laut Benua Amerika. Ketiga belas koloni itu adalah  Provinsi New Hampshire, Provinsi Massachusetts Bay, Rhode Island, Connecticut, Provinsi New York, Provinsi New Jersey, Provinsi Pennsylvania, Delaware, Provinsi Maryland, Virginia, Provinsi North Carolina, Provinsi South Carolina, dan Provinsi Georgia. Pada umumnya, masing-masing wilayah ini dipimpin oleh seorang gubernur yang diangkat dari London. Penguasa lokal ini melakukan pengawasan pemerintahan terhadap semua koloni, termasuk juga menarik pajak dan menciptakan hukum. Mark Savelle (2005: 185-90) mencatat bahwa ketiga belas koloni ini mengalami perkembangan yang luar biasa cepat. Bahkan menurut catatan Savelle, sebagian koloni-koloni ini lebih kaya daripada wilayah-wilayah di Inggris.

Pihak Imperium Inggris menetapkan pajak yang harus dibayar oleh penduduk koloni di Amerika. Tetapi pajak hanya berhenti di pajak, karena suara mereka tidak diwakili dalam pemerintahan di pihak Imperium Inggris di London. Bahkan hukum-hukum yang diputuskan oleh parlemen di London tidak mencerminkan pemihakan sedikitpun kepada mereka. Kondisi itu lalu memunculkan istilah no taxation without representation atau tidak ada pajak tanpa adanya perwakilan yang dinyatakan oleh Jonathan Mayhew dalam sebuah pidatonya pada tahun 1750. Bahkan oleh James Otis, seorang ahli hukum pada masa Amerika Kolonial, ditambahkan dengan no taxation without representation is tyrnany.

Karena merasa tidak ada keuntungan lagi dengan menginduk ke pemerintahan pusat di London, maka muncullah keinginan untuk memerdekakan dari kalangan koloni-koloni Inggris di Amerika ini. Pada saat yang kurang lebih bersamaan, muncullah seorang tokoh yang bernama Thomas Paine yang menggelorakan semangat perlawanan kepada pemerintah pusat Inggris di London. Thomas kemudian menulis sebuah pamflet yang merupakan ajakan kemerdekaan itu. Dalam pamflet yang berjudul Common Sense itu Thomas Paine mengurai sejumlah persoalan. Salah satunya adalah ia menyerang sistem pemerintahan yang dijalankan oleh raja atau monarkhi. Dengan demikian, sesungguhnya Thomas Paine tidak hanya menyerang sistem, tetapi juga dianggap menyerang Raja George III yang saat itu sedang berkuasa.

Pamflet itu dibaca luas oleh penduduk di tiga belas koloni. Menurut sebuah data yang ditulis oleh Christopher Hitchen (2008), pamflet itu terjual sekitar 100.000 kopi dalam waktu tiga bulan. Sementara jika perhitungan diperluas ke masa-masa Revolusi Amerika, diperkirakan dari 500.000 kopi yang terjual. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang sejauh mana peran pamflet itu dalam mencapai kemerdekaan Amerika. Tetapi, satu hal yang pasti adalah bahwa pamflet tersebut telah mampu menyulut semangat awal revolusi di kalangan penduduk tiga belas koloni di Amerika, dan pada akhirnya mengkristal menjadi tekad memerdekaan diri dari Inggris. Tentu kisahnya sangat panjang, tetapi singkatnya, dengan berbagai macam perdebatan dan dinamikanya, pada tanggal 4 Juli 1776, dinyatakanlah Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.

Dari kemerdekaan itulah, lalu Amerika mencapai seperti apa yang dilihat oleh masyarakat dunia saat ini. Maka, perayaan itu adalah hari kegembiraan semua rakyat Amerika Serikat atas tercapainya kemerdekaan itu. Parade kemerdekaan di Chesterfield pun usai, dan kami pun melangkah kaki menuju tujuan yang lain. Ya, rupanya usai menghadiri acara parade kemerdekaan, pada sore hari kami diajak untuk menghadiri pesta kemerdekaan di rumah salah seorang profesor emiritus dalam bidang ilmu politik di University of Massachusetts, yang bernama Profesor itu bernama Jerry Mileur.

Singkat kata, kami berkunjung ke rumah Jerry, merayakan kemerdekaan Amerika dengan aneka makanan. Saya ingin mengulangi lagi perkataan yang pernah tertulis di tulisan berjudul Amherst: Memaknai Arti Sunyi di mana saya menggambarkan rumah dengan halaman yang luas. Karena saking luasnya halaman dan tanah kosong di sekitar rumah Jerry, hingga rumah itu seperti rumah mainan saja jika dilihat dari kejauhan. Itu juga berlaku untuk rumah Jerry. Memasuki rumah Jerry yang berada di tengah-tengah “lapangan” itu, lalu kami menuju sebuah tenda besar yang telah didirikan di belakang rumah Jerry. Di dalam tenda yang berwarna putih itu terdapat sekitar 24 meja bundar. Di masing-masing meja ada enam kursi. Ada 144 kursi tersedia. Memang ini semacam pesta perayaan ulang tahun kemerdekaan.

Di tengah saya duduk dalam tenda besar itu, tiba-tiba seorang teman dari Cambodia memanggil saya. Dia berteriak: “Pradana, somebody wants to meet you.” Saya berdiri, lalu melangkah, meskipun dengan hati diliputi pertanyaan, siapakah yang akan bertemu saya itu. Sesaat kemudian berjalan pelan ke arah saya seorang perempuan tua dengan perawakan yang tidak terlalu gemuk, dengan rambut yang memutih semua. Tiba-tiba dia berteriak dalam bahasa Indonesia: “Hai, apa kabar? Apakah kamu dari Indonesia?” Saya terperanjat. Mencoba mengenali perempuan tua itu. Saya tak mengenalnya. Tetapi dia tersenyum hangat seperti telah lama kenal saja.

Karena tak ingin membuatnya kecewa, sayapun menyambut ucapannya. Setelah itu, perempuan tua ini berkata: “Nama saya Mickey Bill. Saya senang sekali dengan Indonesia. Dulu tahun 1974 saya mengunjungi Indonesia dan meneliti tentang ekonomi Indonesia di berbagai kota, termasuk di Malang. Ah, rasanya saya rindu sekali dengan Indonesia. Saya rindu sekali berbahasa Indonesia.”

Saya biarkan saja Mickey berbicara dan bernostalgia. Sesekali bahasa Indonesia-nya putus, dia seperti berfikir lama tentang sebuah kata. Ketika saya tunjukkan sebuah kata, lalu dia mengangguk sambil tersenyum gembira. “Aduh, sudah lama saya tidak berbahasa Indonesia. Sudah lupa,” sekali lagi Mickey menyatakan itu.

Akhirnya, acara dibuka. Seorang profesor dari University of Massachusetts memimpin acara, menyanyikan lagu kebangsaan Amerika Serikat dan menceritakan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan acara itu. Setelah itu, kami semua menyantap makanan yang disedikan. Acara berikutnya adalah menyanyikan lagu kebangsaan negara-negara sesuai dengan negara para peserta. Saya menolak untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” karena merasa tidak percaya diri menyanyikan lagu itu seorang diri di hadapan ratusan orang.

Acara tetap berlangsung meriah. Sementara perempuan Mickey Bill tetap mengajak saya berbicara dalam bahasa Indonesia. Saya memang tak menyanyikan lagu Indonesia Raya di acara itu. Tetapi saya tetap bangga, karena di tengah perayaan kemerdekaan Amerika Serikat justru ada warga Amerika yang dengan semangatnya berbicara dalam bahasa Indonesia. Terima kasih, Mickey.***

Pradana Boy ZTF
Amherst-Massachusetts,  8 Juli 2017

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini