Benarkah Lebih Enak Zaman Pak Harto?
Dimana-mana ada gambar Pak Harto melambaikan tangan, sembari tersenyum, disana ada tulisan "Penak Jamanku To?"
Ini sangat menggelitik. Entah siapa yang pertama membuatnya, yang jelas gambar/meme itu telah menyebar kemana-mana. Dari sosial media sampai pintu belakang truk pengangkut pasir.
Apa iya zaman Pak Harto lebih enak? Saya sempat merasakan era Presiden Soeharto selama tujuh tahun. Tentu tidak sepenuhnya bisa menyadari, sebab ketika Pak Harto lengser, saya masih SD.
Jika dibandingkan era Pak Harto, suasana sekarang nampak begitu kacau. Presiden bisa dengan gampang dikritik, atau dibuat lelucon. Sangat beda sekali.
Ciri khas era Pak Harto, sebelum akhirnya lengser, adalah harga-harga terjangkau. Ya, terjangkaunya harga karena nilai mata uang. Bayangkan saja, dari kelas 1 sampai 4 SD, uang saku saya hanya Rp200. Sekarang uang segitu hanya bisa membeli permen satu. Dulu bisa membeli dua mangkok jenang.
Baru naik kelas 5 dan 6 uang saku menjadi 1.000. Naik Tsanawiyah uang saku Rp2.000.Pak Harto lengser ketika saya kelas 3 SD. Tapi pasca lengsernya, meski diterjang krisis moneter, kenaikan harga tidak begitu tajam, jika ukurannya sekarang.
Zaman dulu enak? Sepertinya tidak juga. Sekarang harga-harga naik, sesuai dengan tingkat inflasi. Kata orang, duit tak lagi bertaji. 10.000 zaman Pak Harto, setara dengan 100.000 zaman sekarang. Atau bahkan lebih.
Tapi akses apapun lebih mudah sekarang, kalau mau jujur. Dulu kemudahan hanya diperuntukkan bagi yang segolongan. Kalau mau, ya masuk bagian dari golongan itu. Sekarang akses terbuka untuk semua. Tinggal siapa yang lebih lincah.
Zaman sekarang kacau? Apakah zaman dulu tidak? Nah, kita menduga-duga. Kekacauan diwartakan oleh mereka yang bungkam dulu-dulunya. Kalau dulu mereka bisa bersuara, kondisinya juga tak begitu beda.
Memang, diakui, dalam setiap rezim punya kelebihan dan kekurangan. Rezim Pak Harto sangat berwibawa, meski Pak Harto tak pernah sekalipun terlihat marah. Ia selalu tersenyum.
Semoga tidak hanya zaman dulu yang enak, zaman sekarang pun juga. Kita harus senantiasa mensyukurinya. []
Blitar, 1 Agustus 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini