Kenapa Kita Mudah Dipermainkan Media?



Sebelumnya saya mohon maaf karena menggunakan kata "dipermainkan". Padahal tugas media itu memberikan informasi, bukan mempermainkan. Ini mungkin terkhusus bagi media yang memang suka main-main isu, atau orang yang membacanya memang belum siap secara psikis.

Jadi begini, sering kali kita amati di sosial media orang menulis hal-hal yang sebenarnya tidak patut diungkapkan, atau diutarakan di kehidupan nyata.

Rasa jengkel, benci, dendam, geregetan, sinis, dan lain sebagainya campur aduk tak beraturan. HANYA. ya. HANYA karena ia baru saja membaca sebuah postingan di sosial media, atau berita dari media. Baik cetak, elektronik atau daring.

Ini era yang siapapun bisa membuat media, terutama media daring. Dengan ongkos yang tak terlalu mahal, anda bisa membuat media daring dengan tagline tertentu, meski dengan kualitas isi yang awur-awuran : gaya bahasanya kacau, tanda baca berantakan, judul dan isi tidak singkron, dsb dsb.

Lebih parah lagi, jika orang marah, mencaci, sinis pada sesuatu hal, HANYA karena membaca judulnya saja. Ya, belum juga dibaca isinya, sudah menyimpulkan ini itu. Ketahuilah, meski usia telah dewasa, sebagian besar pengguna media sosial di Indonesia itu "masih labil". Seperti ABG labil, yang mudah dimainkan perasaannya.

Aspek kehati-hatian mulai kita tinggalkan. Padahal hati-hati adalah ciri orang bijak. Menelaah lebih jauh, apakah ini berita logis atau tidak, benar atau tidak, murni atau tidak, atau ada kepentingan lain dibelakangnya?

Pembuatnya tentu telah menimang nimang dengan seksama. Bagaimana agar tulisan itu serupa minyak yang membakar emosi publik, atau api yang mempercepat mendidihkan perasaan pembaca. Jadi hati-hati.

Jika kita telah jadi konsumen mereka, atau budak dari isu-isu yang dibuat, kita telah terperangkap dalam jeruji maya yang sulit untuk keluar. Otak kita beku. Keras. Nan sulit menerima hal-hal yang berbeda. Emosi mudah diaduk-aduk dengan beragam berita.

Jadi dalam suasana yang serba membingungkan ini, cara termudah ya menjadi orang tengahan. Mencoba memahami, asal usul medianya, asal asul orang yang berpendapat, alasan demi alasan yang membuat kita tidak lantas terbawa begitu saja, apalagi sampai emosi dan tanpa kontrol.

Sulit? Ya memang begitu. Karena kita telah terbiasa menjadi konsumen yang terus dijejali tanpa ampun. Tanpa kita pernah meminta. Celakanya, kita terbawa arus dan mempercayainya begitu saja. []

Salam,
Ahmad Fahrizal Aziz
2 Agustus 2017

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini