Banyak analisis yang berkembang bahwa diakhir pemerintahannya, Soekarno justru mendekat dengan PKI. Hal itu semakin menguat ketika dibubarkannya dua Parpol besar, yaitu Masyumi dan PSI pimpinan Sutan Sjahrir. Namun analisis berbeda justru disampaikan Soejatmoko, salah satu Intelektual papan atas Indonesia yang juga dekat dengan Sutan Sjahrir. Menurutnya, justru Soekarno lah penghalang bagi PKI.
Soekarno tidak serta merta menolak PKI sebab masih memiliki hubungan khusus dengan poros negara Komunis seperti China dan Rusia, disatu sisi ideologi PKI dilebur menjadi satu dengan Nasionalis dan Agama. Sehingga gerak PKI tidak bisa leluasa, terlebih ada militer yang juga sangat kuat menjaga idelogi negara.
Sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa PKI—karena begitu dekat dengan Soekarno—justru akan menikung, seperti misalkan melakukan kudeta. Opini inilah yang juga berkembang luas di Masyarakat, sehingga para Perwira mengambil sikap tegas dan konfrontatif. Namun Soedjatmoko juga berpendapat, Soekarno disatu sisi juga rintangan utama bagi ambisi para perwira.
Ia pun menggaris bawahi, bahwa pada suasana politik yang semacam itu, ambisi politik para perwira lebih berbahaya ketimbang PKI. Artinya, secara politik Soekarno memang tengah berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terhimpit diantara dua kepentingan besar. Soekarno tetap ingin berada di tengah, dengan PNI sebagai kekuatan politiknya.
Kekhawatiran juga andaikala Perwira masuk dalam gelanggang politik, maka cita-cita menjadi negara demokrasi akan gagal. Sepertinya Soedjatmoko memang membaca bahwa banyak perwira yang tidak lagi loyal dengan Presiden, sehingga ia berspekulasi bahwa ambisi Politik beberapa oknum perwira lebih berbahaya daripada PKI.
Hal tersebut disampaikan Soedjatmoko kepada sahabatnya George McTurnan Kahim, guru besar Cornell University, USA yang kala itu sedang meneliti tentang Indonesia. Sebagai Intelektual yang terpandang, fikiran-fikiran Soedjatmoko tentu sangat diperhitungkan, sehingga ia pun menjadi informan utama, yang pada akhirnya kemudian mereka bersahabat.
Dialognya dengan Soedjatmoko tersebut diabadikan dalam sebuah buku berjudul Southeast Asia- A Testament, pada halaman 152-156. Soedjatmoko Mangoendiningrat adalah Intelektual Indonesia yang malang melintang di dunia Internasional. Ia menjadi salah satu orang terdekat Sutan Sjahrir, pimpinan PSI yang juga pernah menjadi Perdana Menteri.
Di era Soeharto, ia diangkat selama tiga tahun menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat. Tentu bukan tanpa alasan kenapa Soeharto, yang notabene adalah Perwira Tinggi menunjuknya sebagai Dubes salah satu negara yang penting bagi Indonesia, padahal Soedjatmoko memiliki latar belakang politik yang berbeda. Karena kecerdasannya memang sangat dibutuhkan. Begitu pun ketika dulu Soekarno sangat menghargainya, meski disisi lain Soekarno adalah lawan Politik Sjahrir. Soekarno nampak ketus dengan Soedjatmoko namun sebenarnya sangat menghargai Keilmuannya.
Selepas menjadi dubes ia pun mengaku sempat beberapa kali diinterogasi oleh beberapa Perwira, entah karena hal apa. Tak berselang lama iapun diangkat oleh PBB menjadi rektor Universitas PBB selama tujuh tahun, dari tahun 1980-1987 di Tokyo. Menjadi rektor untuk sebuah kampus berskala dunia menjadi puncak karirnya, sebelum meninggal dua tahun kemudian. Namun fikiran-fikiran visionernya untuk Indonesia masih terus dipelajari hingga saat ini. [red.s]
Ditulis oleh Redaksi Srengenge
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini