Banser, FPI, dan Lalu Apa Lagi.?



Apa yang dilakukan Banser, dengan membubarkan pengajian Felix Siauw, serupa dengan misalkan FPI melakukan sweeping. Hanya beda konteks. Namun instansi pertama yang semestinya tertohok adalah kepolisian.

Kenapa, sebab kepolisian yang secara praksis sebagai lembaga penegak hukum. Bagi Banser, ceramah-ceramah Felix Siauw membahayakan ideologi negara, yang sudah dikunci dan tidak boleh dipertentangkan lagi.

Bagi Felix Siauw, apa yang ia lakukan adalah dalam rangka dakwah Islamiyah, maka ia mengibaratkan tantangan sebagaimana dulu yang dialami Nabi Muhammad. Dakwah selalu penuh tantangan.

Bagi FPI, sweeping tempat hiburan, prostitusi, dan sejenisnya, adalah dalam rangka menciptakan kehidupan yang beradab. Sehingga, sesuatu yang dilarang agama perlu ditindak lanjut.

Semua punya argumentasi masing-masing, sesuatu yang dalam alam fikirannya baik. Repot kan?

Sulit bagi anak-anak Banser untuk, misal, membiarkan marwah bangsa dan negara 'dinodai' oleh ceramah-ceramah ideologis Felix Siauw. Sebab dalam doktrin mereka, negara Indonesia ini dibangun juga dari darah para Kyai NU. Laskar Jihad jadi bukti riil.

Tapi, apa tidak terlalu berlebihan dengan membubarkan, melarang atau memblokir ceramah Felix Siauw? Jelas sangat berlebihan. Karena berbicara adalah hak setiap orang, terlepas kita percaya atau tidak percaya.

Ada banyak tokoh NU yang membredel kejanggalan pemikiran Felix Siauw, salah satunya Edi AH Iyubenu. Ia bahkan menulis "rapor khusus" dalam sebuah tulisan yang panjang. Silahkan saja dibaca.

Sekarang sulit untuk tidak terbuka. Sosial media dimana-mana. Gagal ceramah di Masjid, bisa bikin video di Youtube, menyuarakan aspirasinya. Hanya saja, youtube terlalu didominasi oleh video-video humor.

Dalam keterbukaan, orang saling kritik, membantah argumen adalah hal wajar. Tapi jadi tidak wajar jika memanfaatkan basis massa kultural. Dalam konteks ini, NU jelas menang. Tapi apa iya harus selalu begitu?

Di kalangan anak muda non ideologis, Felix Siauw adalah tokoh pujaan yang postingan/tweetnya serupa obat mujarab anti galau. Meski tidak berlangsung lama, akan galau lagi dengan permasalahan yang berbeda. Misal galau karena hidupnya merasa tidak berkah karena berada di dalam negara yang menganut pancasila, dan bukan Khilafah.

Masyarakat sipil, termasuk Banser di dalamnya, semestinya memiliki cara-cara yang berbeda dengan militer. Cara yang lebih dialogis, apalagi di era demokrasi semacam ini.

Sampai kapan kita selalu merasa sok kuasa?

Blitar, 9 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini