Idealisme itu Bulshit!




Apakah ada orang yang benar-benar menjalani hidup secara ideal? Ini menjadi pertanyaan menarik dan sekaligus membingungkan, sebab ideal dalam banyak aspek tentu bermacam-macam. Dalam kehidupan sehari-hari, idealnya pebisnis tentu beda dengan idealnya pegawai. Idealnya pejabat juga berbeda dengan idealnya seniman, begitulah seterusnya.

Dalam hal beragama juga demikian, nyatanya orang tidak bisa sama. Selalu ada beda, bahkan dari cara berpakaian. Ada yang menganggap cara berpakaian tertentu adalah yang paling ideal, namun ada pula yang menganggap bahwa itu bukan ideal, namun hanya kebiasaan. Lantas yang ideal bagaimana?

Dalam suatu kelompok, ideal bisa berarti sebuah kesepakatan. Jika keluar dari kesepakatan tersebut, maka sudah dianggap tidak ideal. Mereka yang kemudian disebut idealis, adalah yang kekeh agar sesuatu itu berjalan sebagaimana idealnya. Sebab seringkali sesuatu berubah karena ada kompromi.

Namun hal-hal ideal biasanya juga berhubungan dengan nilai-nilai universal. Misalkan, idealnya orang harus jujur. Kejujuran adalah hal ideal bagi manusia. Idealnya satu sama lain tidak saling menyakiti, idealnya pemimpin itu melindungi rakyatnya, idealnya orang beragama itu hidupnya penuh kedamaian, dan ideal-ideal lainnya.

Namun ternyata banyak yang tidak ideal dalam hidup ini, bahkan menimpa segolongan orang yang seharusnya menjadi yang terdepan mengupayakan idealitas tersebut. Misalkan, jamaah yang berbeda dalam satu agama saling berebut Masjid, padahal Masjid tersebut dimanakan Al Islah. Ini menjadi paradoks yang sangat nampak.

Banyak kasus tak etik terjadi di lembaga Pendidikan, yang merupakan institusi penting dalam mewujudkan idealitas hidup. Banyak hal tidak ideal terjadi misalkan di lembaga pemerintahan atau lembaga politik. Sampai pada titik tertentu orang menjadi sangat pesimis tentang hal-hal ideal.

Maka seringkali idealisme itu hanya menjadi bahan tertawaan, gurauan, dan candaan. Orang idealis sering disebut mahluk ilusi. Karena itulah jumlahnya makin berkurang setiap hari, bahkan nyaris punah.

Namun anehnya, kadang seringkali kita muak dan bosan dengan kompromi. Apalagi jikalau yang dikompromikan adalah sisi fundamental seperti hukum. Hukum harus diupayakan ideal, sebab idealnya hukum adalah adil. Kita muak dengan kompromi-kompromi dengan istilah “orang dalam”.

Kita menganggap idealisme itu bulshit dan omong kosong, namun sejujurnya dari hati yang terdalam, kita berharap segala hal itu berjalan sebagaimana idealnya. Sebab hilangnya idealitas bisa berdampak buruk. Sebuah lembaga yang tidak merekrut orang-orang profesional, dan hanya memasukkan orang tak berkompeten atas bantuan “orang dalam”, bisa mengalami kebangkrutan.

Sebuah lembaga yang tidak ideal dalam bergerak, akan dengan mudah dijadikan alat oleh segelintir orang, dan dikuasai lalu dikendalikan sekehendak kebutuhan. Betapa mengerikannya ketika banyak hal tidak berjalan ideal, dan selalu bisa dikompromikan. Memang ada hal-hal yang bisa dikompromikan, untuk menghindari dampak buruk. Namun jika hasil kompromi justru melahirkan kebijakan yang lebih buruk, tentu sangat celaka.

Idealisme itu memang bulshit dan omong kosong. Tentu, tapi kita selalu berharap, berdoa, dan berupaya agar itu terwujud, sekalipun dari hal-hal terkecil sekalipun. []

Blitar, 5 Januari 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini