Gejala paling nampak di era sosial media, adalah masyarakat yang terpola, apalagi kini setiap orang punya kanal sendiri untuk berbagi. Banyak informasi dibagikan tanpa direnungkan dan dianalisis, sehingga banyak yang bahkan tidak memahami apa yang sebenarnya ia bagikan.
Belum lagi, ketika isu berganti setiap moment, tanpa didiskusikan dengan baik, tanpa didalami, apalagi sampai pada solusi, sudah hilang dan berganti isu baru. Isu-isu tersebut akan muncul lagi ketika dibutuhkan. Sayangnya kita tidak tahu pasti, siapa yang memunculkan?
Kemampuan mencerna informasi begitu rendah. Kemampuan literasi, terutama dalam aspek analisis isu dan meresponnya dalam bentuk tulisan yang tajam nan kritis, juga masih rendah. Walhasil, postingan demi postingan hanya berpindah dari satu gawai ke gawai yang lain, dari jempol si A ke jempol si B dan seterusnya.
Tidak ada proses mengkritisi, atau sekedar mengomentari. Lebih banyak yang menjadi konsumen bisu, yang hanya sebagai katalisator atau kepanjangan tangan. Hanya sekedar dimanfaatkan, diracuni oleh provokasi, dan selanjutnya terjebak dalam ilusi kata dan kalimat yang tersaji.
Sungguh kuatnya pengaruh tulisan. Apalagi ditengah masyarakat yang kehilangan sudut pandang, ditengah ketidakmampuan mengungkapkan gagasan, sebab rasionalitasnya sudah dikunci, amarahnya berhasil diletupkan, rasa benci berhasil ditaburkan.
Sehingga, karena tak punya sudut pandang, orang lebih suka menyudutkan, menghakimi, menghabisi, tanpa perlu klarifikasi, tanpa perlu mempertimbangkan beragam opini.
Dampaknya : perdebatan, perpecahan, kekacauan, yang akhirnya membuat suasana tidak kondusif.
Begitu mengerikan dampaknya. Tentu ini bisa dicegah jika masing-masing masyarakat memiliki sudut pandang, tidak mudah terbawa "suasana magis" dari isu yang nampak bombastis.
Masalahnya, saat ini kita mengalami keterlompatan budaya. Tradisi lisan yang teramat kuat mengakar, hingga ratusan tahun. Sementara tradisi tulis, kadang hanya terhenti di lingkup perguruan tinggi, itupun baru bermula kira-kira pada era 20-an.
Belum satu abad, disaat tradisi lisan masih mengakar kuat, orang sudah dijejali teknologi informasi, yang mana orang lebih senang memproduksi foto selfi ketimbang opini. Tapi itu lebih mending, daripada yang lebih suka caci maki. []
Blitar, 20 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini