Secara administratif, saya memang tidak pernah tergabung dengan NU. Tidak juga aktif di badan otonomnya, seperti IPNU atau Ansor. Tapi sejak kecil sampai remaja, saya mengaji di LP Maarif. Di TPQ Rodhotul Adfal dan Madrasah Diniyah Darussalam. Wisuda TPQ pun juga dari LP Maarif.
Salah satu yang selalu saya kenang, adalah ketika mengikuti berbagai perlombaan tingkat TPQ, meskipun tidak pernah sekalipun menjadi juara. Mulai dari lomba Shalat, Tartil Qur'an, sampai "Nasyid" Mars Santri Maarif. Meski waktu kelas Diniyah, pernah beberapa kali juara 2 dan 3, yang mungkin jadi prestasi tertinggi selama menjadi santri Maarif.
Karena itulah, ketika wajib "nyantri" setahun di Mahad Al Jamiah UIN Malang, dengan tradisi Aswaja yang kental, saya sudah cukup terbiasa. Misal, mendengar Wirid Latif jelang Shalat subuh, atau beragam Shalawat, salah satu Shalawat yang terkenal di UIN Malang adalah Shalawat Irfan.
Shalawat Irfan digubah oleh Alm. Prof. Ahmad Mudhlor, pendiri Ponpes Luhur. Tiap kali mendengar shalawat Irfan, saya selalu terkenang masa-masa di Mahad, sebab Shalawat tersebut hampir selalu disenandungkan ketika pujian jelang shalat 5 waktu.
Meskipun barangkali saya memiliki pandangan berbeda, dan lebih suka menyebut itu sebagai Syair pujian, daripada Shalawat. Seperti syair Ila Ilas, atau Syair-syair "Shalawat" lain yang jumlahnya sangat banyak, bahkan khas pesantren tertentu.
Meski 9 tahun lebih ngaji di LP Maarif, namun saya kurang tahu NU secara organisasi. Waktu masih kecil, saya kira NU itu hanya khusus Kyai. Sebab tiap kali ada Kyai datang ke pengajian, atau menghadiri acara yang diadakan TPQ, Ustaz selalu menyebut "Kyai NU". Apalagi setelah tahu kalau NU kepanjangan dari Nahdlatul Ulama. Organisasi khusus Ulama?
Ternyata tidak demikian. Meskipun para perintis dan pendiri NU memang Ulama, yang menjadi simbol khas organisasi. Istilah Ulama itu barangkali juga karena Istinbath hukum NU, lebih bersumber dari qoul (pendapat) ulama, aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid).
Sehingga posisi Ulama memang sangat strategis. Belum lagi secara kultural, posisi Kyai yang sangat dihormati di lingkungan NU.
Saya yang bukan anak Kyai, dan tidak memiliki keturunan Kyai sama sekali, memang agak canggung dan minder. Bahkan jika harus satu kelas dengan para "Gus". Makanya, saya kira dulu itu NU hanya untuk Ulama atau Kyai.
Namun ternyata NU memiliki Badan/Organisasi Otonom di berbagai jenjang. Saya tidak tahu pasti, apakah kira-kira memang ada diferensiasi dalam organisasi NU, antara (mungkin) kader yang keturunan Kyai dan yang bukan?
***
Sekitar Aliyah kelas XI, saya kemudian mengenal Muhammadiyah dari buku bacaan. Baru 2009 akhir, secara organisasi saya bergabung di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Uniknya, awal saya mengenal Muhammadiyah justru sebagai organisasi, sebab saya memang belum merasakan hidup dalam kultur Muhammadiyah.
Sekitar Aliyah kelas XI, saya kemudian mengenal Muhammadiyah dari buku bacaan. Baru 2009 akhir, secara organisasi saya bergabung di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Uniknya, awal saya mengenal Muhammadiyah justru sebagai organisasi, sebab saya memang belum merasakan hidup dalam kultur Muhammadiyah.
Karena organisasi, fikir saya waktu itu, maka bisa mendaftar secara administratif. Maka saya pun mendaftar. Memang sempat muncul beragam perbincangan, orang NU kok ikut Muhammadiyah? Terutama dari teman-teman sekolah.
Sebagai sebuah ideologi, keduanya memang kerap dipertentangkan, terutama soal amaliyah. Soal Usoli, subuh pakai qunut, penggunaan sayyidina, selametan orang meninggal, kenduri munggahan, jumlah azan shalat Jum'at, penggunaan bedug, sampai pada hal yang substansi, seperti konsep berkah.
Bagi orang seperti saya, pertentangan ideologis macam itu memang kadang merepotkan, terutama yang sejak kecil belajar Aswaja, yang serba Syafiiyah. Lalu berbenturan dengan ideologi Muhammadiyah yang nyaris "memangkas" semua amaliyah NU.
Namun dalam hal lain, terutama kultur di Muhammadiyah, juga soal keorganisasian, nyaris tak ada masalah. Saya tak bisa membandingkan, sebab tidak pernah aktif di organisasi NU, dan memang pemilihan organisasi tersebut tidak karena dasar perbandingan.
NU bagi saya memang menyatu secara kultural, di keluarga dan lingkungan. Melalui LP Maarif juga saya belajar agama dari dasar : membaca Al Qur'an, Shalat, doa-doa, dan lain sebagainya. Guru-guru LP Maarif, yang saya tahu berjuang secara ikhlas sebab kadang digaji kadang tidak, memiliki jasa yang tak terkira.
Soal Muhammadiyah, adalah murni preferensi pribadi. Entah bagaimana pandangan orang, tapi sudah sejak lama saya berhenti mempertentangkannya. Saya jalani apa adanya, tanpa perlu lagi membandingkan. Wallohu'alam.
Blitar, 24 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini