Jalan Sunyi Menggerakkan Literasi

Apa kira-kira menariknya aktif menggerakkan literasi? Membuat forum diskusi gratisan, meluangkan waktu untuk sekedar sharing menulis, tanpa (mungkin) keuntungan materi yang menggiurkan.


Nah, pertanyaan semacam ini, yang bagi saya merupakan pertanyaan realistis. Sebab ya, realitanya setiap kegiatan paling tidak mendatangkan keuntungan materi yang cukup.


Itu sangat manusiawi. Tidak ada yang keliru, sebab orang memang butuh materi untuk keberlangsungan hidup, juga mungkin untuk memenuhi keinginan-keinginan lain seperti jalan-jalan, liburan, punya motor, mobil, ponsel bagus, dan lain sebagainya.


Karenanya orang membagi antara "zona kering" dan "zona basah". Mengurusi komunitas literasi, termasuk "zona kering", meskipun dibuat "agak basah", tetap saja rasanya masih kering.


Lalu bagaimana komunitas literasi tetap hidup? Entahlah, namanya juga rezeki dari Tuhan, tetap saja ada jalannya.


Tiba-tiba kita dipertemukan dengan seseorang, dan dari pertemuan tersebut ada kesepahaman dan rezekinya sendiri. Kita diperkenankan mengakses sesuatu, yang jika di-rupiahkan mungkin lumayan mahal.


Ketika kita bikin program diskusi, yang tertarik juga tak begitu banyak. Bahkan hanya segelintir saja. Ada perasaan sepi, sedih, dan mungkin juga bosan. Kenapa tidak laku ya?


Masyarakat kebanyakan adalah masyarakat pendengar, kalau mau bikin sesuatu yang laku, jangan bikin sesuatu yang berat. Jangan bikin diskusi-diskusi yang njelimet. Makanya para caleg atau calon kepala daerah, lebih senang mengadakan konser dangdut, ketimbang seminar kebijakan publik.


Kalau ada konser dangdut, orang tinggal datang, diajak bergoyang, happy, dan jumlahnya pasti membludak. Apalagi artis yang didatangkan cukup terkenal.


Atau yang agak mending, adakan pengajian, mengundang dai kondang yang pandai membuat humor. Pasti laku, jamaah membludak.


Ya, masyarakat pendengar itu jumlahnya banyak. Bedakan ketika ada pengajian atau dzikir akbar, jumlahnya pasti membludak. Tetapi kalau ngaji kitab, misalkan ngaji kitab Riyadus Shalihin di Masjid A, jumlahnya pasti menyusut. Karena ngaji kitab lebih berat.


Sama halnya, ketika ada seminar kepenulisan yang mendatangkan penulis kondang, yang hadir juga membludak. Namun yang serius untuk mendalaminya, dalam forum-forum kepenulisan, jumlahnya bisa dihitung jari.


Jadi kita harus sadar diri, bahwa yang kita tempuh adalah "jalan sunyi". Menggerakkan literasi, berarti menuju tradisi baru, dari masyarakat pendengar ke masyarakat pembaca. Dalam aktivitas membaca, ada kegiatan mencerna dan menganalisis kata per kata, kalimat per kalimat, paragraf per paragraf.


Disinilah letak perjuangannya. Tetapi membaca tidak hanya sekedar teks, menganalisis bisa saja dari realita. Karena itu kita sedikit paham,bagaimana sebuah gagasan diproduksi, bagaimana agitasi dan provokasi didistribusi.


Pada masyarakat pendengar, dua hal itu jadi pelecut emosi. Sementara masyarakat pembaca akan menimang sejenak ; ah masa benar begitu, apa alasannya, kenapa itu terjadi, dan kira-kira ada kepentingan apa?


Jadi forum-forum diskusi yang kita anggap basa-basi itu, atau kegiatan-kegiatan literasi yang tak selalu mendatangkan materi, memiliki dampak yang cukup besar dalam membentuk tradisi.


Disitulah letak "perjuangan sosialnya", yang meskipun tidak selalu berhasil. Tanpa konsitensi dan kesabaran, tentu hal-hal demikian akan terasa membosankan. Karenanya perlu dibutuhkan penjiwaan, tidak hanya badan yang bergerak, tetapi jiwa kita harus selalu membersamainya.


Selamat berjuang.


Blitar, 16 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini