Di era digital ini, muncul kekuatiran tentang kedangkalan media online. Demokrasi digital yang memungkinkan setiap orang bisa menulis di media tersebut punya potensi pendangkalan berpikir bagi sebagian kalangan. Demikian ditulis oleh akun QLC (Quantum Litera Center), salah satu komunitas literasi di Trenggalek. Komunitas Literasi di kota kecil ini lebih memilih jalur penerbitan buku karya para penulis lokal. Mereka memandang bahwa membaca buku cetak itu lebih utama dibanding membaca buku online.
Melalui postingan facebooknya, QLC mengajak menghitung jumlah kata-kata dalam semua media online baik website atau blog. Ternyata jumlahnya tak akan bisa mengalahkan jumlah kata-kata yang sudah ditulis dalam buku oleh para penulis sejak peradaban menulis muncul hingga sekarang. Jika membuka website atau blog, akan kelihatan bahwa kebanyakan keluar adalah artikel-artikel atau berita. Artikel dan berita yang muncul bahkan ketika dipindah di WORDS dengan (katakanlah) spasi 1, jumlahnya bahkan ada yang tak sampai 1 halaman.
QLC memandang bahwa tulisan di media online (website atau blog) jumlahnya memang terbatas. Karena ditulis bukan berdasarkan kedalaman. Ada penulis yang mencoba menulis panjang di media online, tetapi jumlahnya pun sanga sedikit. Sedangkan tulisan yang menguraikan tentang suatu hal secara utuh tapi bersifat umum dan tematik semacam dilakukan Wikipediapun, ternyata tidak bisa memajang banyak (tema). Meskipun jilid-jilid ensiklopedik lewat Wikipedia itu bisa dipajang oleh siapa saja yang mau melakukannya, ternyata juga seringkali tidak lengkap. Masih tetap kalah jauh dengan ensiklopedia cetak yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu dari berbagai macam penerbit—yang rata-rata berada di perpustakaan kampus.
Sementara itu media online juga membuka peluang untuk para penulis pemula yang masih belajar dan ingin memajang tulisannya. Tingkat kedalaman dan keluasan tema tetap tak bisa dibandingkan dengan buku yang ada di perpustakaan. Apalagi kalau media online yang menyajikan tulisan berupa NEWS. Meskipun tiap hari memuat berita, tapi tetap saja ukuran foto lebih lebar daripada isi tulisan. Apalagi prinsip media online seperti ini memang menganggap bahwa foto harus lebih ditonjolkan daripada isi tulisan. Belum lagi kalau bicara isu hoax, di mana media online paling banyak untuk meyebarkannya.
Karena itulah, menurut QLC, membaca buku lebih punya manfaat yang lebih dalam dibanding baca media online. Dicontohkan bahwa dosen memang akan suka jika mahasiswanya banyak membaca buku. Terutama buku tentang tema tertentu, satu tema tapi sumbernya banyak dan mendalam. Dan itu tak bisa mengandalkan google, yang nanti ketemunya kebanyakan adalah artikel di website yang belum tentu penulisnya sudah ahli terhadap suatu tema—atau bisa jadi baru belajar menulis.
Postingan itu mendapatkan tanggapan komentar dari akun bernama Haredhika Lukiswara. Ia berkomentar: “Saya orang jadul yang lebih puas baca tulisan di kertas sambil membauinya daripada berlama-lama baca e-book yang bikin mata pedes. Hehe. Jikalau mahasiswa cari referensi di dunia online, saya sarankan pakai jurnal ilmiah yg terindeks daripada asal comot dari web”. (Eko.N)
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini