Ahmad Fahrizal Aziz
Sejak pertengahan 2007, saya mulai benar-benar aktif dalam komunitas. Mulanya melalui ekskul Jurnalistik sekolah.
Pada moment MOS (Masa Orientasi Siswa), saya jadi panitia, dan harus presentasi ekskul tersebut dihadapan siswa baru. Setelah MOS, masih door to door ke kelas-kelas untuk menyebar brosur ekskul. Meyakinkan para siswa untuk ikut ekskul Jurnalistik.
Perjuangan tersebut tidak sia-sia, sebab ternyata ekskul Jurnalistik kala itu paling banyak diminati siswa baru. Jangan bandingkan dengan Pramuka, yang memang selalu diprioritaskan dan dikhususkan oleh sekolah.
***
Pertengahan 2008, di masa akhir amanah sebagai ketua ekskul, saya terlibat "promosi" lagi. Yaitu menyebarkan brosur launching FLP Blitar ke sekolah-sekolah. Sekaligus memperkenalkan kepada mereka bahwa ada komunitas kepenulisan di Blitar ini.
Semua panitia berjuang. Hasilnya cukup menggembirakan. Aula penuh sampai kursi belakang. Banyak juga kemudian yang mengambil formulir, mengisinya, dan kemudian datang pada pertemuan berikutnya.
***
Akhir 2012, saya ditunjuk sebagai ketua ranting FLP UIN Malang. Setelah itu, bersama "sisa kepengurusan" yang ada, kami menempel pamflet ke sudut-sudut kampus. Menulis berita di koran lokal dan buletin bahwa FLP UIN baru punya ketua baru dan sedang membuka pendaftaran.
Peminatnya membludak. Lebih dari seratus, dan yang hadir dalam acara OR sekitar 90, yang benar-benar aktif kemudian hanya belasan.
Kala itu benar-benar penuh perjuangan dalam keterbatasan yang ada.
Sekembalinya ke Blitar, ternyata hal tersebut masih berlanjut. Bersama empat orang waktu itu, pada pertengahan 2015, menghidupkan kembali FLP Blitar. Sampai kini, dan untuk pertama kalinya ada Musyawarah Cabang. Pergantian ketua melalui musyawarah, meski sistemnya masih jauh dari kata sempurna.
Bersyukur bisa berjumpa dengan mereka yang punya gairah literasi, dan rela meluangkan sekaligus memprioritaskan waktunya untuk terus menghidupi organisasi.
Meski disela-sela itu, ada pertanyaan reflektif dalam diri. Sebab karena sibuknya pada organisasi, sampai lupa membuat karya. Lantas apa gunanya?
Iya, apa gunanya? Komunitas atau organisasi dibentuk untuk menguatkan motivasi, berbagi, dan menebar inspirasi. Juga sebagai media untuk belajar. Tetapi lupa berkarya? Sampai orang tanya mana buku yang sudah kamu terbitkan?
Pernah juga saya berbincang dengan teman yang aktif menulis. Dia tidak ikut organisasi, dan memilih "berkarya sendiri". Tulisannya masuk koran-koran. Saya iri. Meskipun dalam suasana iri tersebut, toh saya juga "tidak sempat" menulis untuk koran atau majalah.
Otak saya sudah mengepul dengan tugas menulis wajib, mengurus bisnis kecil-kecilan, dan memikirkan organisasi. Nyaris tak ada ruang perenungan khusus, hingga melahirkan puisi atau cerpen yang layak muat ke media.
Sebab yang difikirkan bukan hanya satu organisasi. Ada beberapa, dengan kompleksitas yang ada. Belum lagi permasalahan hidup yang juga harus diselesaikan. Berat!
Sebagai hiburan, saya bercocok tanam. Merawat tanaman sekitar rumah, beternak ayam, juga mengover lagu dan kadang mengunggahnya ke sosial media (soundcloud).
Kalau tidak begitu, nongkrong dan ngopi dengan teman hingga larut malam. Sesekali jalan-jalan : ke hutan, air terjun, pantai, dan tanpa berfoto-foto. Menghirup segarnya udara, menyesap energi alam yang diberikan gratis oleh Tuhan.
Apakah lebih baik saya break ber-organisasi, atau ber-komunitas, dan kemudian "berkarya mandiri" saja?
Atau sebaiknya saya menjalani kehidupan formal yang sempat saya tinggalkan. Kerja di kantor, menggarap berkas, bersepatu pantofel, berkemeja, berjas dan berdasi, padahal udara panas.
Atau masuk gelanggang politik, sebab hasrat politik saya cukup kuat, termasuk ketika seringnya menulis soal politik. Namun politik dalam sebuah tulisan, dan realitas, sungguh jauh berbeda.
Apakah benar kata seorang teman, bahwa saya mengorbankan banyak kesempatan dan tawaran, hanya karena ingin hidup bebas. Sebebas "manusia jalang"-nya Chairil Anwar.
Saya sempat ingin break sejenak. Menepi, menyelesaikan novel. Tetapi tangan selalu gatal untuk menulis yang lain. Terbayang website saya sendiri yang jarang terisi, padahal terlanjur dibayar. Juga "peternakan blog" yang lama saya tinggalkan.
Kadang tidak perlu ber-organisasi, toh banyak juga yang produktif menulis tanpa perlu ikut organisasi atau komunitas kepenulisan, dan juga terkenal. Bahkan justru diundang ceramah atau khotbah soal kepenulisan.
Tetapi saya tidak bisa. Tidak betah lama-lama di rumah, duduk berjam jam di depan laptop. Saya harus keluar, bertemu orang, berbincang, atau membuat forum-forum diskusi.
Karena dengan begitulah, sebenarnya, saya justru punya bahan untuk menulis. []
Blitar, 3 Juni 2018
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini