Membaca Sebagai Gerakan

"Kalau tempat ini dibuat diskusi boleh ya Pak?"


Tanya saya suatu ketika, lebih setahun silam, pada Pak Budi Kastowo, "juru kunci" buku-buku koleksi khusus Bung Karno.


Tempat itu lebih sering sepi. Lokasinya ada di lantai II sebelah barat. Sesekali nampak ada interaksi, jika kebetulan ada tamu dari luar kota yang hendak menggali referensi tentang Bung Karno. Atau jika ada diskusi publik.


Kebetulan setiap minggu siang, saya dan beberapa teman dari Forum Lingkar Pena datang ke area perpustakaan, duduk melingkar di selasar untuk berbincang soal kepenulisan. Saya jadi ingat ruang atas, bagaimana kalau pindah ke atas saja?


Kehadiran kami disambut Pak Budi Kastowo, yang kadang ikut dalam diskusi, kadang pula ikut berpraktek menulis, jika dalam materi diskusi mentor mengharuskan kami untuk praktek menulis.


Berikutnya kami makin akrab dengan petugas yang lain, sampai-sampai kami tidak perlu lagi lewat jalan utama menuju lantai II tersebut. Kami nerobos lewat Museum, padahal disana tertulis : selain karyawan dilarang masuk.


Entah siapa yang memulai, kalau tidak salah Rosy Nursita. Sebelum dia jadi ketua Lingkar Pena, saya pernah lihat dia duduk di lantai dua dengan mengenakan jaket hitam dan membawa tas. Loh kok boleh?


Padahal kalau masuk perpustakaan, tas dan jaket harus dititipkan di bawah. Ternyata dia lewat museum, dan setelah itu ditirukan yang lain.


Atau bisa juga, karena ada Adinda Kinasih, yang sempat magang disitu, karena program PPL-nya sebagai mahasiswi jurusan Ilmu Perpustakaan. Banyak orang perpus sudah mengenalnya, yang kemudian juga mengenalnya sebagai anggota Lingkar Pena.


Jadi seperti previlage tersendiri, bisa menggunakan ruangan di lantai II, bercengkrama, berdiskusi, dan saling berbagi. Kadang juga saling tukar-pinjam buku, apalagi yang sudah punya kartu anggota perpustakaan, tinggal bergeser ke ruang sebelah untuk memilih buku-buku yang ingin dipinjam.


Saya yang malas baca pun akhirnya juga tergerak untuk bikin kartu anggota perpustakaan. Sekarang bikin kartu itu mudah sekali, cukup bawa KTP, isi formulir lembaran dan pada komputer yang disediakan, lalu berfoto, dan tinggal menunggu beberapa menit kartu pun jadi.


Inilah fasilitas publik yang harusnya diakses oleh masyarakat. Semua serba gratis.


***
Di tempat yang sama kemudian, saya berbincang dengan Pak Budi soal rendahnya budaya baca. Rasanya sudah cukup untuk terus-terusan mengeluh apalagi mengumpat.


Diskusi soal budaya baca tentu menjadi perhatian serius, terutama bagi pengelola perpustakaan seperti Pak Budi. Salah satu i'tikad Pustakawan, tentu adalah bagaimana masyarakat suka membaca, dan mengakses buku-buku yang sudah disediakan negara.


Tetapi ya berat untuk mengajak orang suka membaca buku, apalagi ditengah gempuran digital, ditengah generasi kini yang dimanjakan teknologi. Ditengah kepraktisan orang mencari informasi yang mereka butuhkan.


Karenanya, lebih baik kita bikin perkumpulan. Tidak harus yang suka baca, justru buat yang malas baca. Biar mendengarkan dulu. Tetapi memang harus ada yang "berkorban" untuk membaca buku, lalu menyampaikannya.


Jadi membaca bukan lagi untuk diri sendiri, tetapi untuk disampaikan ke orang lain. Membaca bukan lagi sebagai ruang privat, tetapi menjadi upaya untuk menggerakkan.


Grup whatsapp pun dibuat untuk memperluas silaturahim dan partisipasi masyarakat. Meski yang hadir dalam pertemuan rutin setiap Jum'at kemudian, antara belasan sampai puluhan.


Bagi saya itu tak masalah, berapapun yang hadir, minimal saya sendiri juga membutuhkan. Sedikit atau banyak, tak terlalu berpengaruh. Meski mungkin ada orang yang menertawakan.


Ketika FLP Blitar vacum selama kurang lebih tiga tahun, yang menghidupkannya kembali toh hanya 5 orang. Sampai nyaris setahun kemudian peserta yang hadir ya tetap antara 5 orang itu.


***
Saya rutin hadir dalam diskusi setiap hari Jum'at, dan berharap akan banyak yang datang, tetapi kalaupun tidak banyak, minimal saya sendiri juga butuh untuk datang ; butuh untuk mendengarkan, butuh untuk tahu hal-hal baru, butuh untuk terus belajar.


Tepat 8 Juni 2018, ada Undangan ke rumah Pak Budi Kastowo yang terletak di utara Kota. Rumah dengan suasana sekitar yang asri. Undangan itu untuk diskusi dan berbuka bersama.


Kira-kira satu minggu ini, di teras depan yang luas, sudah dibuka sebuah cafe. Sudah ada LCD dan sekaligus pengeras suara, beserta free wifi. Tepat disamping perguruan "ilmu sejati".


Saya membuka diskusi, dilanjutkan Pak Budi yang menceritakan bagaimana Bung Karno menggali Pancasila, sampai waktu berbuka tiba. Sebagian kami melaksanakan shalat magrib berjamaah.


Selepas itu, beberapa hidangan sudah tersaji. Ada beberapa jenang merah, sebab malam ini ada satu lagi agenda penting, yaitu peresmian nama untuk kegiatan rutin kami setiap hari Jum'at itu.


Mbah Kakung, Bambang In Mardiono, atau yang biasa disapa Mbah Gudel memimpin hajatan tersebut, dengan bahasa Indonesia bercampur Jawa, beserta filosofinya.


Lalu apa nama yang cocok? Jujur saya pribadi, Kang Khabib, Karas, dan lainnya, tak sempat menemukan nama yang pas. Nama "komunitas malas baca" dirasa cukup, penuh kritik sekaligus dalam rangka menertawakan diri sendiri yang kadang malas untuk membaca.


Atau karena kami dari Muhammadiyah, yang kurang mesakralkan soal nama. Orang Muhammadiyah sendiri ketika menamai Amal Usahanya, kadang hanya mencari nama lain yang sekiranya cocok dengan logo : seperti surya dan mentari.


Tetapi Pak Budi Kastowo dan Mbah Gudel mungkin punya nilai-nilai tersendiri soal nama, dan berharap agenda mingguan ini tetap langgeng sampai waktu yang lama, dan berdampak. Ya, begitulah doa kami semua.


Ternyata pada malam itu, nama "dititipkan" oleh seseorang yang baru hadir hari itu, mahasiswa STIT Al Muslihun bernama Hamid Firdaus. Ia mengusulkan sebuah nama yang kemudian disepakati.


Komunitas Malas Baca pun berubah menjadi Komunitas Muara Baca. Kata "Muara" bermakna dua hal : sebagai tempat pertemuan dan tujuan, juga karena peresmian malam itu berlokasi di jalan muara takus.


Sepertinya hadirin sepakat, dan tanpa waktu lama kemudian diresmikan, lalu ditutup dengan doa oleh Gus Imam, tokoh masyarakat Sentul yang turut hadir malam itu.


Selanjutnya, cukuplah kita menyebut komunitas itu dengan "Muara" saja, atau komunitas muara. Dan semoga mereka yang suka membaca, atau yang masih malas membaca sekalipun, bisa bermuara disini, di komunitas ini.


Jadi ada sharing wawasan, ada atmosfir positif untuk kembali membuka-buka isi buku, yang rasanya sudah seperti barang antik akhir-akhir ini.


Ada sebuah gerakan membaca. Semoga.


Blitar, 10 Juni 2018
Ahmad Fahrizal Aziz


0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini