Selepas Walikota Tertangkap KPK


Oleh Ahmad Fahrizal Aziz


Akhir 2009, dalam sebuah percakapan, seseorang menceritakan pengalamannya berkunjung ke Blitar. Dia asal Pekalongan, dan tergerak untuk datang ke Blitar karena ada "Bung Karno" disana.


Katanya, Kota Blitar begitu sepi. Ia mampir ke alun-alun, sama sekali tak ada yang istimewa. Hanya serupa lapangan biasa, dan deretan penjual yang mengitarinya.


Kota-kota lain mungkin menawarkan lebih, apalagi kami yang kala itu sama-sama sedang kuliah di Malang. Blitar kalah segalanya : tata kota, pusat belanja, tempat nongkrong, hiburan, kampus, dan lain-lain.


Blitar hanya menang satu hal saja ; disini ada makam Bung Karno. Tokoh revolusi. Hanya lokasinya ratusan kilometer dari Ibukota Jakarta. Teman sekamar saya di asrama, yang asal Medan, baru tahu kalau Bung Karno dimakamkam di Blitar.


***
Awal 2010, dalam sebuah pidato perpisahannya sebagai Walikota, Djarot mendapat pertanyaan : Blitar ini kok tidak maju-maju pak? Anak-anak muda kalau belanja dan nonton film saja harus ke kota tetangga.


Djarot memang menolak pendirian mal. Sangat tegas menolak. Idealismenya kuat soal ini. Jawabnya : jangan sampai anak-anak Blitar terjangkiti virus hedonisme dan konsumerisme.


Terasa ketika saya aliyah, di malam minggu yang panjang, tak ada fikiran untuk sekedar nongkrong di cafe. Paling hanya warung kopi. Mungkin juga karena coffe culture belum populer seperti sekarang.


Baru setelah berpindah ke kota sebelah, terasa bedanya ; kerlap kerlip lampu kota, kerumunan orang di berbagai sudut, dan suasana malam yang hidup.


Saya baru menyadari jika Blitar memang sangat sepi. Kota pensiun kata orang-orang. Kota yang menghendaki ketenangan. Mula-mula memang menjenuhkan, terapi seperti jadi ciri khas tersendiri.


Setiap Jum'at malam di akhir bulan, ketika kereta api penataran menghantarkan saya pulang, terasa syahdu melihat perempatan kawi yang lengang.


***
Akhir 2011 dan seterusnya, sepertinya ada banyak perbedaan. Gedung Dipayana yang legendaris, yang di waktu saya kecil sering dijadikan tempat pertunjukan ludruk, ketoprak, dan teater, dipagari tinggi. Konon akan dibangun mal.


Cafe-cafe mulai menjamur. Minimarket juga tumbuh bersaing pada jarak yang berdekatan. Sekolah-sekolah mulai diseragamkan, dari tas sampai kaos olahraga. Hal-hal simbolik kembali dimunculkan, seperti busana djadoel.


Sekolah baru, dibangun begitu megah. Guru-guru terbaik dimutasi kesana. Dua kali saya masuk, mengamati dari dekat, dan terasa begitu diprioritaskannya.


Blitar bukan lagi kota pensiun. Sekarang cukup ramai. Ada taman dibangun di depan alun-alun. Taman di depan taman. Saling berhadapan.


Kawasan mastrip yang legendaris itu juga digusur, dipugar, dirapikan. Jalanan dibelah dua dan dilebarkan. Banyak kios dan ruko di sekitarnya. Saya mencari-cari gerobak penjual buku loak, yang sepertinya sudah tak ada.


Kota Blitar telah menjelma dalam wujud baru, yang lebih gemerlap. Ada banyak tempat nongkrong, pusat belanja, taman-taman, dan fasilitas lainnya.


Ada "kemajuan" yang dulu diimpikan. Sebagaimana kota-kota lain yang sedang tumbuh. Di areal wisata makam Bung Karno, ada beberapa titik pedestrian. Paving-paving untuk pejalan kaki.


Lebih indah, kata orang. Seperti khas-nya trotoar sepanjang jalan Braga atau Malioboro yang selalu terkenang dan sayang jika dilewatkan, untuk sekedar berfoto.


Kota ini memang tumbuh, dan terus tumbuh, meski tanpa lagi ingatan. Semua kota akan sama pada akhirnya. Jadi obyek proyek-proyek ambisius.


Sayangnya, seringkali proyek ambisius itu, menelan korban. Kalau hanya walikota yang diciduk KPK, itu biasa. Lebih dari itu, ada pergulatan sosial-budaya. Ada proses penggerusan, dan kita hanya bisa kembali merenung bersama buku-buku sejarah yang jarang lagi disentuh. []


Blitar, 13 Juni 2018
Di Penghujung Ramadan


0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini