Ahmad Fahrizal Aziz
Minum kopi memang menjadi kebiasaan sejak lama, di rumah-rumah, atau kedai-kedai yang kemudian dikenal dengan warung kopi. Padahal yang dijual tidak hanya kopi, ada teh, susu, gorengan, sampai mie instan.
Baru belakangan saja muncul kedai kopi ideal. Apa yang dimaksud ideal?
Umumnya warung kopi menyajikan kopi sachet, yang tinggal dituang dan diaduk dengan air panas. Kopi yang entah seberapa kandungan kopinya.
Karena itu harganya murah, atau standart lah. Antara 3000-5000 segelas. Beda dengan kopi ideal, yang murni biji kopi, bahkan biji kopinya tersaji di meja untuk kemudian dihaluskan dengan blender khusus kopi.
Karena itu harganya lebih mahal. Harga disesuaikan dengan teknik penyajian atau seduh. Paling murah tentu saja tubruk, setelah biji kopi diblender, hanya perlu dituang ke dalam cangkir dan diaduk.
Ada beberapa teknik penyajian,dengan alat yang berbeda dan tentunya keterampilan khusus. Oleh sebab itu ada sekolah barista, yang tidak murah. Sebab lulusan sekolah barista ini punya skill dalam bidang penyajian kopi.
Semua penuh perhitungan. Sampai muncul rasa khas kopi, yang benar-benar khas karena hasil penyajian tersebut. Bukan karena tambahan gula atau sejenisnya.
Karenanya kita bisa membedakan rasa kopi dari biji yang berbeda, misalkan kopi gayo berbeda dengan kopi kintamani. Kopi kalosi berbeda dengan sindikalang, dst.
Kedai kopi ideal tersebut belakangan banyak muncul di Blitar. Mulai dari yang terkonsep minimalis, sampai yang coffe place-nya terdesain dengan apik.
Padahal modalnya tidak sedikit. Untuk beli alat-alatnya, mulai dari Coffe blend hingga alat seduh. Mempersiapkan properti khusus agar beda dengan warung kopi biasa, plus desain lampu-lampunya.
Beli biji kopi yang tentu tidak murah, karena pure biji kopi. Apalagi bagi kedai yang tidak nyetok, alias menyajikan biji fresh. Belum lagi fasilitas listrik dan free wifi, dan kalau lokasinya masih sewa.
Modal sepertu itu, untuk ukuran di Blitar, kadang tidak sebanding. Misalkan, pengunjung datang hanya memesan kopi. Ya katakanlah harganya yang 15rb. Duduk berjam-jam, sambil ngobrol dan wifian.
Kita bandingkan penjual soto yang mungkin desain warungnya biasa, harga soto semangkok 10rb. Tetapi mampir sebentar saja, untuk sekedar makan. Setelah itu pulang dan berganti dengan pembeli lain.
Jika dibandingkan untuk buka kedai kopi ideal semacam itu, jelas tak sebanding, namun mungkin saja pendapatannya justru lebih banyak warung soto tersebut.
Apalagi di kota berpenduduk sedikit seperti Blitar, butuh perjuangan tersendiri. Belum lagi kalau ada yang bilang ngopi disitu mahal. Padahal semahal-mahalnya kedai kopi ideal, sebenarnya hampir sama ketika kita makan di warung.
Hanya orang-orang masih menimang, masa uang segitu hanya untuk ngopi?
Ini mungkin soal budaya. Tak sedikit kedai kopi ideal di Blitar yang akhirnya tutup, tak lagi bertahan. Entah mahal pada produksinya atau sewa tempatnya.
Salah satu cara bertahan adalah dengan memberi tambahan menu, snack atau minuman non kopi, yang tentu lebih terjangkau harganya.
Apakah kedai kopi ideal hanya untuk kalangan menengah ke atas? Rasanya tidak juga. Ini hanya soal selera dan kebiasaan, dan teman ngopi. hehe
Blitar, 26 Juli 2018
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini