Srengenge - Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia pertama kali diadakan tahun 2004. Jika sebelumnya Presiden dipilih berdasar perolehan suara Partai politik atau voting di Parlemen, 2004 muncul aturan baru.
Saat itu Megawati Soekarnoputri, yang mejabat sebagai Presiden, maju sebagai Petahana, melawan lima pasangan lainnya. Megawati menggandeng Ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi.
Pasangan yang maju kala itu adalah Wiranto-Solahudin Wahid yang diusung partai Golkar. Megawati-Hasyim Muzadi yang diusung PDIP, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo yang diusung PAN, SBY-JK yang diusung Partai Demokrat, PBB, dan PKPI, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar yang diusung PPP.
Persyaratan mengusung pasangan Capres dan Cawapres waktu itu adalah, parpol memiliki 5% suara nasional, atau 3% di kursi DPR. Sehingga beberapa partai bisa mengusung calonnya sendiri.
Pada putaran pertama, suara NU disebut pecah dalam dua kubu, karena Adik dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yaitu Solahudin Wahid maju sebagai Cawapres Wiranto yang diusung Golkar.
Tetapi diluar dugaan, justru pasangan SBY-JK menang cukup telak mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi. SBY-JK memperoleh suara 33,57% sementara Mega-Hasyim 26,61%.
Karena syarat kemenangan harus melebihi 50%, atau setidaknya 20% di tiap provinsi, maka digelarlah putaran kedua.
Terjadi lobi dan komunikasi politik, selain kocok ulang partai pendukung, juga banyak yang bertanya, apakah suara NU akan bulat mendukung Mega-Hasyim?
Sebagai petahana, Megawati jelas sangat diunggulkan, apalagi berpasangan dengan Ketua PBNU, yang notabene sebagai Ormas dengan pengikut terbesar di Indonesia. Banyak yang memprediksi Mega-Hasyim akan menang mudah.
Namun hasil pemilu sungguh mengejutkan. Justru SBY-JK menang sangat telak sebesar 60,62%. Sementara Mega-Hasyim hanya memperoleh prosentase suara 39,38%.
Pengamat politik menilai preferensi pemilih tidak seragam, sekalipun yang maju adalah tokoh sentral organisasi. Banyak yang berharap kala itu KH. Hasyim Muzadi lebih mengurus Umat daripada terlibat dalam politik.
Pola yang sama kini juga dijalankan PDIP, dengan memasangkan Jokowi dengan Rois Am PBNU, KH. Ma'ruf Amin. Akankah sejarah terulang? (red.s)
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini