Jihad politik adalah bahasa tersendiri, untuk menamai atau lebih tepatnya menetralisir pendangan publik yang kerap menyebut politik sebagai wilayah kotor.
Padahal yang kotor adalah caranya, lebih tepatnya cara memperoleh jabatan, kekuasaan, atau jaringan tertentu.
Kenapa kotor? Sebab follow the money. Mengikuti jumlah uang yang disediakan untuk mendapat suara, itulah yang pernah dikhawatirkan Bung Karno dahulu, ketika politik jadi "pasar bebas".
Akhirnya, yang berkuasa adalah "dana". Sekarang bayangkan, dalam politik elektoral saat ini, yang "satu orang satu suara", sulit kiranya jika tidak mengeluarkan dana untuk sekedar mengamankan suara, mengongkosi saksi.
Itu belum biaya promosi, memperkenalkan diri ke hadapan publik atau calon konstituennya. Belum lagi misal, menyewa jasa/konsultan politik, untuk memoles brand dirinya.
Juga biaya-biaya lain yang tak terduga jumlahnya. Termasuk yang kemungkinan menggunakan siasat "menjatuhkan lawan" agar pesaing elektoralnya kian melemah.
Nyatanya, di lapangan memang terjadi perang yang sedemikian keras. Senjata utamanya hanya dua : akal dan uang.
Karenanya jihad politik jadi bahasa tersendiri, untuk mengkritisi sekaligus melawan keadaan saat ini. Apakah mungkin?
Tentu akan sangat berat. Apalagi jika hanya berbekal semangat. Sementara yang lain, yang juga kerja jatuh bangun, ada bantuan materinya.
Sementara yang membahasakan jihad, tanpa bantuan materil, bahkan harus urun rembuk materi. Berbekal semangat, niat baik, dan keikhlasan. Ya mungkin begitulah yang disebut jihad.
Namanya Jihad tentu pasti ada yang dikorbankan. Pada zaman perang fisik, jihad mengorbankan nyawa, bahkan ada yang kehilangan sebagian anggota tubuhnya seperti tangan dan kaki, yang akhirnya hidup cacat.
Jihad politik tidak harus berkorban nyawa, mungkin juga tidak harus berkorban banyak materi. Paling hanya berkorban waktu, tenaga, dan keahlian.
Rela memilih meski tidak dapat angpau, rela mengawal suara meski tidak ada akomodasi, rela berpromosi meski tidak mendapat fee. Rela menyumbangkan keahlian yang dimiliki.
Kuncinya hanya rasa percaya. Percaya pada figur yang didukung, percaya bahwa figur tersebut akan menjalankan tugasnya dengan baik jika memangku jabatan tersebut.
Selebihnya, ikhlas! Setidaknya sudah ikut berjihad menciptakan suasana politik yang lebih baik.
Namun apakah hal semacam itu masih ada? Apalagi di tengah kondisi yang serba pragmatis begini, di tengah naiknya harga kebutuhan pokok dan naiknya gengsi dalam pergaulan.
Masihkah ada pejuang-pejuang yang rela ber-jihad politik sebagaimana di atas?
Semoga masih ada. Sebab perubahan selalu diawali dari bahasa, dan jihad politik adalah sebuah bahasa yang menyimpan harapan cerah.
Blitar, 3 September 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini