Keinginan berbeda dengan kebutuhan. Dalam kebutuhan ada keinginan, namun tidak semua keinginan mengandung kebutuhan.
Makan adalah kebutuhan, namun muncul keinginan untuk memilih apa yang dimakan. Nasi pecel, nasi padang, atau nasi borang.
Keinginan tersebut bisa terpenuhi jika memiliki kemampuan, misalkan memiliki uang lebih untuk mewujudkan keinginan tersebut. Sehingga, meskipun di rumah ada nasi liwet lauk tempe, karena dorongan keinginan, tetap akan pergi ke warung nasi padang.
Termasuk dalam kebutuhan lain, seperti berpakaian. Manusia butuh berpakaian agar lebih sehat, tidak masuk angin, gatal-gatal dan lain sebagainya.
Namun keinginan, membuatnya akan memilih jenis pakaian, mulai dari jenis kain, warna, hingga modelnya. Keinginan kadang juga disesuaikan dengan bentuk tubuhnya.
Karena tubuhnya bagus, kekar, maka menggunakan kaos yang ketat. Atau karena tubuhnya langsing dan seksi, maka menggunakan celana ketat.
Keinginan juga berkaitan dengan prestise atau kesan orang terhadapnya. Kenapa menggunakan batik, baju koko, kemeja polos, hingga hal-hal yang bersifat asesoris seperti jam tangan, syal, kalung, dan lain sebagainya.
Dua hal di atas adalah keinginan yang berkaitan dengan kebutuhan. Lalu bagaimana dengan keinginan yang tidak berkaitan dengan kebutuhan?
Sebenarnya berbeda tipis. Bahkan keduanya nyaris sama. Seperti kebutuhan makan tadi. Dia bisa saja makan nasi yang ada di rumah, kebutuhan sudah terpenuhi. Namun karana ada keinginan lain, sehingga makan ke warung.
Dia sebenarnya tidak perlu ke warung, karena di rumah sudah ada makanan, yang meski rasanya tidak seenak di warung.
Namun jika itu dikontrol, mungkin tidak akan ada yang mubazir. Uang yang seharusnya dia gunakan ke warung, barangkali bisa untuk hal lain.
Artinya ke warung bukan lagi kebutuhan. Lebih karena keinginan.
Akan tetapi keinginan manusia selalu berkembang, dan bahkan berada pada tahap irasional.
Seperti keinginan untuk dihargai, dipuji, dikagumi, dicintai dan lain sebagainya. Itu semua keinginan yang sama sekali tak berkait dengan kebutuhan. Meski keinginan yang terus diburu akan jadi semacam kebutuhan baru.
Keinginan bisa terhenti karena tidak adanya kemampuan. Misalkan, ingin beli mobil mewah tetapi tak punya cukup uang.
Ingin beli hape terbaru, model jaket terbaru, merk sepatu yang sedang trend, tas dengan brand tertentu, dan lain sebagainya, namun tidak memiliki kemampuan.
Sementara, pergaulan sosial memberikan tampat khusus dan stigma tersendiri bagi mereka yang memiliki barang-barang tersebut.
Keinginan kemudian menjadi hal yang sungguh menyiksa, ketika tak memiliki kemampuan untuk mewujudkan.
Pada akhirnya, sebagaimana teori Sigmund Freud, ada konflik dalam diri. Ada ketidakseimbangan karena ego yang berupa keinginan dan kepuasan tersebut tidak terpenuhi.
Hal tersebut akan terus terjadi, baik ketika ada atau tidaknya kemampuan untuk mewujudkan keinginan. Arti dari "kebutuhan" pun kian bergeser.
Itu barangkali lebih berat secara psikologis, dibandingkan mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makan.
Itulah kenapa banyak kasus orang yang menurut kita hidupnya enak dan berkecukupan, namun tiba-tiba bunuh diri.
Kulminasi keinginan yang tidak pernah terpuaskan, sebab benar kata Freud, keinginan tak akan terpuaskan. Sehingga perlu kontrol atas diri (introyeksi), yang kita kenal dengan istilah superego.
Kemampuan memilah mana yang benar-benar kebutuhan, dengan keinginan yang akhirnya menjelma jadi kebutuhan.
Memilah mana keinginan yang wajar, dan keinginan yang berlebihan. Keinginan yang bisa dipenuhi tanpa menimbulkan masalah, dengan keinginan yang bisa meledakkan masalah dikemudian hari.
Mengontrol itu tidak mudah, apalagi jika punya kemampuan untuk mewujudkannya. Apalagi keinginan tersebut bersifat hedonis dan pragmatis berupa hasrat dan kenikmatan sekejap.
Semoga kita mampu mengontrol keinginan kita sendiri. []
Blitar, 28 September 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini