Ngopi Bareng Rani (1)

crystalgraphicsimages.com


| Cerbung | SRENGENGE.ID
| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

"Kamu suka ngopi?" Tanyaku pada Rani sewaktu mengerjakan tugas perdana mata kuliah sejarah Psikologi. Kami duduk di bundaran kampus, Rani datang membawakan dua kopi bergelas kertas yang dia beli di dekat gerbang masuk kampus.

Black coffe original.

"Mungkin ini yang namanya ketagihan, sejak kelas dua SMA aku jadi terbiasa ngopi," Jawabnya sambil menghirup aroma kopi hitam tersebut.

Di bundaran kampus itu kami bisa memanfaatkan wifi dengan cukup memasukkan NIM (Nomor Induk Mahasiswa). Kami mendapat tugas menuliskan sejarah dan pemikiran Alfred Adler.

"Emang kenapa bisa kecanduan kopi?" Tanyaku lagi dengan penasaran.

Rani tersenyum getir. Lalu ia menyeruput kopinya dari balik sedotan hitam berlubang super kecil itu.

"Suatu ketika saat bulan puasa, Ibuku mendapat banyak pesanan kue. Aku membantunya dari selesai tarawih, hingga tengah malam. Pernah tertidur saat mengukus, akhirnya pengukusnya terbakar. Esoknya, biar nggak ngantuk, aku minum kopi. Kopi hitam. Keterusan sampai sekarang," Jelasnya dengan senyum mengembang.

"Masa cuma sekali minum langsung keterusan?"

"Enggak. Itu lebih dari setengah bulan, jadi hampir tiap malam lembur. Pesanan kue di bulan puasa begitu banyak, kan untuk lebaran."

###
Sepoi angin menerpa tubuh kami, di bulan Agustus 2009. Hujan rintik-rintik mulai sering menyapa kala sore dan malam. Untungnya malam ini cerah.

Rani adalah teman sekelasku, di jurusan Psikologi angkatan 2009. Pada mata kuliah sejarah psikologi, dosen memilih dua nama berdasarkan absen terdekat untuk membuat makalah. Namaku tepat berada di bawah nama Rani, akhirnya kami harus kerja kelompok untuk menulis makalah.

Rani pun maju dan mengambil slot yang dipersiapkan dosen, dalam slot itu ada nama-nama psikolog yang harus kami cari biografinya. Dalam slot yang dipilih Rani tertulis nama Alfred Adler.

"Kenapa bukan Sigmund Freud ya?" Gerutu Rani.

###

"Jadi ibu kamu harus bekerja? Atau hanya membantu keluarga?"

Percakapan kami berlanjut.

Rani menunduk, sejurus kemudian dia tersenyum getir, lagi.

"Ibu bekerja, sebagai tulang punggung keluarga," Jelasnya.

"Ayah kamu?"

"Entah!"

"Maaf. Sudah meninggal?"

"Enggak. Tetapi mereka berpisah, meski tanpa perceraian yang resmi."

"Maaf. Aku nggak tau."

Rani tersenyum lagi. Dia menatap ke arahku dengan senyum yang teduh dan sorot mata bersahabat.

"Ayo kita kerjakan!"

Dia mengeluarkan dua buku yang di dalamnya terdapat biografi Adler. Aku tak membawa satu bukupun, kukira bisa mencari di yahoo atau google. Aku hanya membawa laptop.

Itulah awal perkenalanku dengan Rani, tak menyangka jika pertemanan kami berlanjut bahkan selepas kami mempresentasikan makalah tersebut. Aku juga berjanji padanya sewaktu-waktu akan memperkenalkan adikku, yang juga bernama Rani.

B E R S A M B U N G...


Cerbung ini adalah sekuel dari cerbung berjudul "mendung" yang bisa dibaca DISINI :

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini