Ngopi Bareng Rani (2)

sumber : travel kompas


| Cerbung | Bagian 2
| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Rani bekerja di "kedai burjo" pada malam harinya, antara jam 20.00-00.00 WIB. Kedai burjo itu menyediakan menu utama bubur ayam, bubur kacang hijau, dan mie instan, rebus atau goreng, tanpa atau tambah telur ceplok. Kedai itu letaknya tak jauh dari pintu masuk gang Kertoleksono, di area kos-kosan mahasiswa.

Aku mengunjunginya pada hari yang sama, selepas kami mempresentasikan makalah tentang Alfred Adler tersebut. Kedainya berada di pojok tikungan, dengan atap esbes, dan dinding kayu bercat hijau, serta beberapa kursi plastik dan dua meja memanjang, serta meja yang tertempel di dinding.

"Jadi kamu kuliah sambil kerja?" Tanyaku saat berkunjung ke kedai tempat ia bekerja.

"Enggak, tetapi kerja sambil kuliah," Jawabnya sambil tertawa kecil.

"Warung ini buka 24 jam lo?" Lanjutnya berpromosi.

Tak jauh dari dapur ada ruangan tertutup korden, meski tak begitu jelas, nampak seseorang sedang tertidur di dalamnya. Mungkin itu kamar untuk gantian jaga.

"Kamu jaga warung sampai jam berapa?" Tanyaku.

"Jadwalnya sampai jam 12 malem, tapi kadang kurang dari itu, kadang lebih. Maklum, di atas jam 11 malem warung malah ramai," Jawabnya sambil berjalan menyuguhkan bubur kacang hijau pesananku.

Meski mendapatkan beasiswa, namun Rani masih bekerja untuk menambal kebutuhan hidupnya. Uang beasiswa memang tidak cukup, sebab ada kebutuhan makan dan tempat tinggal yang harus terpenuhi. Sementara Ibunya hidup berdua bersama nenek, di Indramayu sana. Rani tak ingin merepotkan.

"Kenapa kamu dulu pilih kuliah di Malang?" Aku membuka obrolan, ketika pengunjung sedang tak ramai.

"Karena ini," Jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke arah meja saji, "yang punya warung ini masih sodara ibu, orang Cianjur yang lama merantau disini. Aku manggilnya mamang. Mamang jugalah yang membantuku saat pertama ke Malang, mencarikan kos dan membantu tugas-tugas ospek," lanjutnya.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil mencicipi bubur kacang hijau yang ia sajikan. Manis nan gurih, santannya terasa, ketan hitam dan cendol merahnya makin melengkapi. Di papan harga, tertera bubur kacang hijau Rp3.000. Murah sekali.

Kulihat juga beberapa buku psikologi menumpuk di dekat kotak kaca mie instan. Barangkali Rani menyempatkan belajar disela bekerjanya, atau sekaligus mengerjakan tugas-tugas dari dosen.

"Oya, kamu mau kopi? Aku punya kopi. Tak perlu bayar, ini dariku," Tawar Rani.

"Kopi apa?"

Dia pergi menuju tasnya dan merogoh sebungkus bubuk kopi tanpa merk.

"Ini kopi murni, kopi mekarwangi asli dari Ciwidey. Sebenarnya aku masih punya kopi malabar di kos. Ibu membawakan bubuk kopi agar bisa kuseduh sendiri, biar lebih hemat. Mau?"

"Boleh."

Rani kemudian menyeduhkan dua gelas, aromanya harum. Satu gelasnya ia sodorkan padaku.

"Hatur nuhun, neng," Ucapku.

Rani tersenyum malu. Kami pun melanjutkan obrolan sambil menyeruput kopi mekarwangi buatan Rani.

"Oya, kamu dulu jurusan apa waktu SMA?" Rani membuka percakapan baru.

"IPA, kamu?"

"Aku IPS. Kenapa kamu ambil psikologi? Kenapa nggak ambil jurusan rumpun IPA saja?"

"Hmm.. pengen aja sih, kamu sendiri kenapa ambil psikologi?"

Rani terdiam, menyeruput kopi, dan matanya memandang ke langit-langit.

"Karena suatu hal," Jawabnya.

"Apa?"

Percakapan tersebut jadi begitu dramatis, setelah Rani menjelaskan alasannya mengambil jurusan psikologi.

"Aku pernah hampir frustasi dengan hidupku sendiri," lanjutnya.

Hening. Akupun hanya bisa menjadi pendengar, sambil terus penasaran dengan penjelasan Rani berikutnya.

B E R S A M B U N G
Baca juga bagian pertamanya DISINI

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini