Senjakala Warung Internet, dan Kesan Awal Mengenalnya




Jumat, 2 Agustus 2019
Pertama kali saya mengenal warung internet (warnet) pada tahun 2006, tarif per jamnya Rp6.000, seiring waktu tarifnya terus turun. Warnet memiliki kenangan tersendiri bagi saya. Ada hal baru dan menarik sejak mengenalnya.
Ketika Aliyah, antara pertengahan 2006 hingga awal 2009, rutin saya ke warnet. Kadang baca artikel, lihat-lihat foto, dan sering juga chatting dengan teman lewat Mirc. Lebih sering membuka friendster dan menambah kenalan di dunia maya.
Warnet seperti dunia baru bagi saya, yang sangat menarik. Apalagi ketika ada tarif khusus pelajar, dengan syarat mengenakan seragam. Tarifnya hanya Rp2.000 per jam. Separuh harga standar.
Dari friendster kami bertukar nomor hp, lalu saling sms atau telp. Beberapa teman maya yang akhirnya akrab ngobrol lewat telepon, di antaranya dari Medan dan Aceh, yang bentuk orangnya hanya tahu sekilas lewat foto friendster dengan kualitas kamera hp VGA yang tidak begitu jelas.
Belum lagi jika mencari kenalan lewat radio, berkirim salam sekaligus expose nomor. Nomor kita akan dibaca penyiar, dan sejurus kemudian akan datang banyak sms, mengajak kenalan, basa basi, tanya kabar, dan lain sebagainya.
Di antara kenalan itu ada yang mengajak bertukar fs, singkatan untuk friendster. Tukar fs adalah cara paling murah dan asyik ketimbang meminta foto lewat MMS yang menghabiskan pulsa.
loading...
2007, dunia baru saya bertambah ketika memiliki blog via blogger.com. Banyak hal saya ekspresikan di sana. Banyak tulisan saya posting, dan mendapatkan respon dari sesama blogger. 2008, ketika saya menjadi ketua ekskul Jurnalistik, saya membuat blog untuk ekskul itu. Beberapa karya liputan terposting ke blog tersebut.
Belum lagi, jika warnet itu memiliki file musik dan film yang tersimpan pada masing-masing komputer, saya banyak mengambil lagu-lagu atau film di sana. Bukan lewat flasdisk. Lewat VCD, dan harus burn up (membakar) dengan Nero. Kadang juga donwload lagunya lewat internet. Salah satu situs yang sering saya kunjungi untuk mendownload lagu waktu itu adalah Stafaband.com/net.
Lagu-lagu itu diburn up dalam bentuk MP3, dan bisa saya putar di rumah dengan pemutar kaset/VCD. Prosesnya begitu panjang untuk bisa mendengarkan lagu kesayangan sampai ke telinga.
Hal itu menjadi bermanfaat karena salah satu divisi/faq di ekskul Jurnalistik yang saya kelola adalah broadcasting, atau radio komunitas sekolah. Banyak lagu-lagu baru di putar dalam siaran yang hanya berdurasi 20 menit, setiap istirahat sekolah.
Pendengar pun jadi terinspirasi. Teman-teman sekelas sering request ke saya satu judul lagu, meski waktu itu saya tidak ada jadwal siaran. Karena jadwal siaran dibagi-bagi oleh tim broadcast lainnya. Namun saya menjadi salah satu “distributor” lagu karena punya koleksi cukup banyak MP3, yang saya burn up sendiri.
Salah satu lagu yang sering saya putar waktu siaran adalah lagunya Numero, berjudul Letih. Banyak yang bertanya-tanya, ini lagu siapa, dan band mana? sebab jarang, bahkan tak mungkin mereka mendengar lagu itu di radio-radio. Lagu Numero saya temukan di warnet. Banyak lagu yang saya putar, dan jarang mereka dengar sebelumnya.
Radio sekolah yang minimalis itu jadi punya gairah dan memiliki pendengarnya sendiri. Karena diputarnya pas jam istirahat, banyak yang rela tetap stay di kelas atau membawa makanan dari kantin dibawa ke kelas untuk sekadar mendengarkan siaran. Tak sedikit yang akhirnya berkirim salam, dan harus membeli selembar kertas seharga Rp200. Banyak salam yang dibaca keesokan harinya karena durasi tidak memungkinkan, sementara jumlah lagu yang diputar hanya 3-4, itupun dipotong menjadi 3 menitan.
Sekarang semua berubah. Teknologi semakin cepat, akses data melimpah, dan gawai canggih bertebaran. Tidak perlu menunggu radio untuk mendengarkan lagu kesayangan, atau lagu baru sekalipun. Tidak perlu burn up VCD, atau menonton tayangan MTV Music yang sempat merajai acara musik televisi.
Semua ada di YouTube, Itunes, Sportify, dsj dan semua bisa mengakses dari ponselnya masing-masing. Tidak perlu lagi ke warnet. Nasib warnet nyaris sama dengan wartel pada masanya. Kini beberapa warnet masih bertahan karena para gamers. Tak sedikit warnet yang tutup. Banyak orang sudah memiliki laptop sendiri dan mengakses langsung via Wifi.
Mungkin hanya saya yang rutin ke warnet, hingga sekarang. Setidaknya dua kali dalam seminggu. Suatu kebiasaan dan kesan yang tidak begitu saja bisa dihilangkan.
Ahmad Fahrizal Aziz
Bit.ly/catatanFahrizal

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini