Jalan Penantian (Ep 2)


"Jadi jurusan yang kamu ingini gak ada di sini?" 

Tanya Ibu, sembari menyiapkan hidangan di atas meja makan. Makan malam kami terasa berbeda sejak bapak hanya bisa berbaring di ranjang. Biasanya bapak lah yang paling banyak bertanya, tentang kegemaran, kegiatan harian, sampai diskusi kecil tentang perkuliahan.

"Ya ambil yang ada saja," lanjut Ibu.

Namun aku tetap harus mengambil jurusan itu, meski harus kuliah jarak jauh. Karena bagiku, kuliah pada jurusan yang kuinginkan sangat berdampak pada semangatku menjalaninya.

Apalagi, aku harus membantu tiga cabang toko bapak. Meski ada beberapa karyawan yang mengurus, akulah yang akhirnya menggantikan peran bapak. Mengecek stok barang, menyiapkan gaji karyawan, mengatur sirkulasi uang, membayar pajak, dan sebagainya.

Hidupku berubah drastis. Dari anak manja yang selama ini hidup dengan fasilitas yang ada, berubah menjadi seorang manajer toko yang serba pelik.

Di Jogja sana, Mey mungkin sudah berkenalan dengan teman-teman baru, setiap hari berkunjung ke perpustakaan kampus meminjam buku-buku kesukaan, aktif di organisasi, klub teater, memainkan monolog, berpuisi, atau ikut berdiskusi dengan tema-tema yang menantang.

Sebuah dunia yang sebenarnya juga sangat kuimpikan, sejak kelas XI SMA, ketika sekolah kami dikunjugi kakak PKL dari Universitas Negeri Yogyakarta. Di sela jam istirahat, aku dan Mey banyak berbincang dengan mereka. Mendengarkan banyak hal menakjubkan tentang Jogja.

Sampai akhirnya, kami berjanji untuk melanjutkan kuliah di sana. Aku pun sudah menceritakannya pada bapak, dan alangkah senangnya bapak mendengar semangatku yang berapi-api untuk melanjutkan studi ke Jogja.

"Jadi kamu ingin ambil psikologi?" Tanya bapak.

Aku mengangguk pelan,"Dan Mey akan mengambil jurusan sastra," Lanjutku.

"Kamu gak pengen ambil hukum? Atau sosiologi?"

Aku menggeleng. Aku sangat menyukai psikologi. Banyak buku-buku psikologi sudah kubaca, dan itu membuatku semakin tertarik.

Memahami sisi dari setiap individu, mengamati kebiasaannya, karakter, perilaku, sikap dan semacamnya. Kuliah jurusan psikologi adalah pilihan yang sangat aku minati, melebihi jurusan apapun.

###

"Daff, sini sebentar," Panggil Ibu.

Aku berjalan menuju kamar, terlihat Ibu duduk di samping bapak yang terbaring. Mulut bapak agak miring ke kanan, tangan kirinya menangkup di dada karena tak bisa digerakkan. Namun tangan kanannya masih bisa menunjuk, meski tremor.

"Bapak nulis ini buat kamu."

Ibu menyodorkan secarik kertas. Aku lekas membukanya. Tertera beberapa kalimat dengan coretan bolpoin yang tak karuan. Sepertinya bapak sangat bersusah payah menuliskan kalimat ini.

Maafin bapak karena kamu jadi tidak bisa kuliah di jogja

Membaca itu, aku menunduk agak lama, lalu memandang wajah bapak. Terlihat bulir air matanya menepi.

Sembari menghela nafas, aku pegang tangan bapak.

"Jangan terlalu dipikirkan pak. Saya akan nunggu sampai bapak sehat kembali. Saya akan tetap mengambil jurusan itu meski tak lagi di Jogja, yang penting bapak harus lekas sehat," Ucapku.

###

Malam semakin larut, kulihat foto-fofo yang baru diunggah Mey di Instagram. Kegiatan demi kegiatan yang dilaluinya selama hampir 4 bulan di Jogja. Sementara aku harus menunggu 6 bulan lagi untuk bisa mendaftar di kampus terbuka, karena uang kuliahku sementara digunakan untuk pengobatan bapak.

Aku belum bisa kuliah ke Jogja, dan entah apakah mimpi kecil itu bisa terwujud. Namun sepertinya Tuhan sedang menyuruhku untuk kuliah di kehidupan nyata. Belajar memendam keinginan, berkorban, berjuang, menjalani hal-hal baru, dan menanti lebih lama lagi.

Bersambung ...
Baca episode 1 (KLIK DISINI)

Ditulis oleh Ahmad Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini