Hanya Jagung Bakar


Senin, 30 Maret 2020
Oleh A Fahrizal Aziz

COVID-19 telah menyebar sampai ke Jawa Timur, sekali ada yang positif, pemerintah langsung menandainya sebagai zona merah. Sekalipun hanya satu orang dari sekian juta penduduk di sebuah kabupaten.

Dua kabupaten yang bersebelahan : Malang dan Blitar, sudah masuk zona merah. Dilarang keras bepergian, banyak rencana tertunda sementara atau dibatalkan.

Teman saya pun tidak jadi ke Blitar, menyicipi jagung bakar di PIPP Bung Karno. Kan di Malang juga banyak jagung bakar? Tanya saya.

Namun menurutnya beda. Bukan soal jenis dan kualitas jagungnya, namun pada suasana kotanya. Penjual jagung bakar di trotoar dalam PIPP itu telah menginspirasinya. Menurutnya, lebih terkenang dibanding area wisata makamnya yang sudah ada city walk itu.

Kala itu saya lah yang menemaninya mengunyah jagung bakar, sembari memesan dua gelas kopi di warung trotoar luar yang baru buka.

"Terkenang sekali," Ujarnya.

Terkenang karena ada saya? ternyata bukan. Namun pada suasana kota dan auranya. Ingin kembali ia mengunjunginya lagi pada Maret ini. Namun merebaknya COVID-19 membuat rencana itu ia urungkan.

-00-

Saya juga ada rencana ke Malang. Memang tak tampak spesial, sebab Kota Malang ibarat "ayah" bagi saya, tempat tumbuh. Selain Blitar sebagai "Ibu", tempat saya dilahirkan.

Hampir sewindu tinggal di Malang, selepas itu masih sering berkunjung untuk beragam kegiatan atau sekadar menghirup udara gunung perkotaan, mengintip Arjuno dari kejauhan sebab ketidakberanian saya mendakinya.

Namun kunjungan ke Malang selalu tak biasa. Rona malamnya, dingin kotanya terutama jelang bulan Mei dan Juni, begitu berkesan.

Meski sudah banyak yang berubah. Ya, kota metropolis selalu cepat beradaptasi dengan gaya hidup. Ruko-ruko menjamur, warung kopi bertebaran, pusat belanja menggurita. Seolah mahasiswa selalu punya cukup dana untuk berbelanja.

Saya juga rindu sebuah kedai burger, meski menu yang disajikan tergolong mahal. Tak bisa dibandingkan dengan jagung bakar PIPP kesukaan teman saya itu.

Tak terasa pola hidup hedonistik sudah merasuk dalam diri saya. Ngopi di kafe-kafe, berkunjung ke tempat hiburan, dan memuaskan hasrat jasmani lainnya. Baru terasa ketika saldo rekening menipis.

Merebaknya COVID-19 membuat banyak orang mengoreksi hidupnya. Terutama bagi wirausahawan dan pekerja kreatif yang gaji bulanannya tidak ditanggung negara.

Kemaren gaji ngeblog saya dari Adnow turun. Dwi mingguan dan hanya masuk $19,23. Diuntungkan karena kurs dollar sedang--dan selalu menguat--pada rupiah.

Beberapa bulan terakhir keuangan sedang kurang baik karena sering keluyuran. Tabungan amblas, jiwa konsumeristik menggelora.

Diam-diam saya iri dengan teman saya, yang bisa sangat meresapi kesederhanaannya. Merindukan jagung bakar yang sangat terjangkau di antara kafe-kafe mahal yang belakangan menyerbu kota Blitar.

Cobalah untuk lebih sering di rumah saja, ketimbang perlahan-lahan terbunuh oleh gengsi. Petuah untuk diri sendiri. []

Kedai MuaRa, Senin Malam


0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini