Setiap kali berkunjung ke suatu Kota, terutama kota-kota di Jawa, selalu bisa ditemukan pohon beringin di alun-alun. Ternyata pohon tersebut memiliki sejarah tersendiri, yang cukup sakral.
Multatuli dalam bukunya Max Havelaar (2005 : 366) menulis bahwa pohon beringin tidak ditanam di alun-alun, justru sebaliknya, keberadaan pohon beringin itulah yang dipilih sebagai alun-alun, yang kemudian didesain sebagai pusat daerah.
Pada zaman Majapahit, alun-alun merupakan bagian dari kompleks keraton, sebagaimana yang ditulis Handinoto dalam bukunya Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial (2010 : 219).
Alun-alun selalu berdekatan dengan pusat kekuasaan, bahkan berada di depan kediaman penguasa daerah. Ternyata ada hubungan filosofis antara pohon beringin dengan kekuasaan.
Pohon beringin memiliki konsep kosmografi, yaitu titik pertemuan antara kehidupan duniawi dan dunia lain. Penguasa pribumi, baik raja, sultan, hingga bupati tidak hanya sebagai pengurus daerah, melainkan juga memiliki status sebagai wakil Tuhan di dunia.
Sejak zaman Hindu-Buddha, pohon beringin sudah dianggap suci dan keramat, dan masyarakat percaya pohon tersebut bisa melindungi penduduk setempat.
Selain itu, seperti yang diungkap H. Blink dalam buku Nederlandsch Oost- en West-Indie (1905 : 28) tumbuhnya pohon beringin di suatu tempat merupakan simbol dari kesuburan dan ketenteraman.
Pohon beringin bisa berusia ratusan tahun, dengan batang raksasa, daun lebat, bercabang dan sulur-sulurnya yang bergelantungan.
Meski tidak dapat diketahui berapa usia pasti dari pohon beringin, namun bisa diperkirakan usianya sejak didirikan alun-alun tersebut.
Misalkan, alun-alun Solo yang didirikan sejak tahun 1745. Jika dihitung hingga sekarang, maka usianya sudah mencapai 273 tahun. Usia pohon beringin jauh lebih tua dari itu, dan tumbuh dalam beberapa generasi.
Menurut sejarawan Belanda, Van den Broek, bibit pohon beringin pertama dibawa ke Jawa oleh pendatang dari India (Stille Krachten, jilid 4 : 89)
Di beberapa alun-alun, pohon beringin dipagari khusus dan dirawat dengan baik, meski tidak lagi begitu disakralkan seperti dahulu, apalagi setelah sistem pemerintahan berubah.
Beberapa kota atau kabupaten di Jawa kini, banyak yang tidak memiliki pohon beringin di alun-alun, dan banyak juga alun-alun yang sudah beralih fungsi. Tidak lagi tanah lapang, namun dirubah menjadi taman dan dibangun pedestrian.
Terlepas dari mitos dan kesan angkernya, keberadaan pohon beringin sangat bermanfaat bagi lingkungan, karena selain memberikan keteduhan, juga bisa menyerap dan menyimpan cadangan air yang melimpah. (InsightBlitar)
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini