Kamis, 14 April 2020
Salah satu kenangan ramadan saat masih kuliah adalah, perjalanan sore dari Malang ke Blitar via sepeda motor.
Mulanya saya ragu, takut terlalu capek di jalan, apalagi dalam keadaan puasa, apalagi sore hari, ketika energi yang diisi saat sahur mungkin hanya tersisa berapa persen.
Namun kondisi tubuh saat berpuasa itu justru berlaku sebaliknya.
Coba kita amati, pagi hari sekitar pukul 09.00-11.00 adalah puncak lapar. Pada jam itu mungkin perut keroncongan.
Masuk dhuhur, sampai kira-kira menjelang ashar, puncaknya haus. Kerongkongan terasa kering dan tercekat.
Selepas ashar, kondisi berangsur pulih. Lapar dan haus tetap, namun relatif tak begitu ekstrem. Mungkin sebagian kita pernah merasakan, saat tiba waktu berbuka, justru biasa saja.
Minum segelas air putih dan sehelai pisang rasanya sudah kenyang. Bahkan ada yang hanya makan takjil lalu lanjut shalat magrib, isya, dan taraweh, baru setelah itu makan nasi.
Begitupun yang saya rasakan, kala berkendara dari Malang ke Blitar pada sore hari. Lebih santai dan nyaman. Justru lebih melelahkan pulang pagi atau siang hari.
Kenapa bisa demikian? bisa jadi ini faktor psikologis ; puasa menjadi lebih ringan saat sore hari karena kita sadar waktu berbuka sudah dekat.
Beda dengan pagi dan siang hari, yang kita rasa waktu berbuka masih lebih dari 6 jam lagi, masih lama.
Perasaan sangat mempengaruhi kondisi fisik, bukan?
Selain juga faktor alam : sore hari memang lebih sejuk, tak terpapar panasnya sengatan matahari siang, yang membuat tubuh kehilangan banyak cairan, bahkan dehidrasi.
Kondisi tubuh pun menyesuaikan.
Sepanjang Malang-Blitar, saya melewati beberapa pasar dan pujasera. Melihat begitu banyak penjual takjil, sayur dan lauk pauk, juga ramainya kedai dan rumah makan.
Fenomena itu menarik perhatian. Sesekali saya mampir ke salah satu penjual, utamanya yang menjual jenis takjil langka. Misalnya, es legen siwalan, yang sekilas mirip air kelapa, dikemas dalam botol air mineral 1200 ml.
Karena itu, laju kendaraan saya pelankan antara 40-60 km/jam, sembari menikmati suasana sore itu. Kadang belum sampai rumah sudah magrib. Kadang pula dapat takjil gratis, ketika berhenti di lampu lalu lintas.
Hitung-hitung ngabuburit, kan?
Pernah juga saya berhenti di bendungan lahor/karangkates. Sembari berbuka, menikmati senja, dan keramaian yang ditampakkannya.
Momentum itu jarang terjadi, sebab selama ramadan, kadang hanya dua kali saya pulang ke Blitar, dari 2012-2015. Jika dihitung, momentum itu terjadi kurang lebih 10 kali dalam 4 tahun itu.
Sehingga layak untuk dikenang. []
Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini