Mbah Juned (Selintas Kenang dari Sosok Mbah Zoened Moesni)


Ahad, 14 Juni 2020

Sosok Mbah Juned, panggilan akrab Drs. Zoened Moesni, sangat populer di Blitar. Beliau berjuluk guru kader Nasionalis, Soekarnois, dan Marhaenis.

Namanya sering saya dengar, terutama sejak pertengahan 2015, sekembalinya saya dari Malang dan mulai beraktifitas di Blitar, apalagi ketika sering berdiskusi di Perpustakaan Bung Karno dan mengenal beberapa aktivis GMNI.

Bulan Maret 2018, pertama kali saya melihat sosok Mbah Juned, kala menghadiri undangan Dr. Arif Muzayin Shofwan untuk bedah buku bunga rampai "Ada aku di antara Tionghoa dan Indonesia" di Klenteng Poo An Kiong.

Mbah Juned berjaket hitam, berpeci, bersarung tangan putih, duduk di barisan depan dengan kursi roda.

Tampak karisma dan ketokohannya, apalagi saat beliau dan rombongannya lewat.

Sosoknya begitu berkesan. Dalam kondisi fisik yang tak muda lagi, semangatnya masih berapi-api. Tubuhnya bergetar ketika mengajak para peserta bedah buku memekikkan kata "merdeka".

Saya jadi ikut bergetar. Orang ini hebat sekali, batin saya. Aura yang dimiliki, serta otentisitasnya ketika berbicara, bisa menyihir hadirin.

Meskipun beliau pernah menjadi politisi, pernah mejabat sebagai anggota DPR-RI 1999-2004. Biasanya politisi ketika sambutan isinya normatif dan general. Namun sisi ideologis Mbah Juned sangat kentara. Itulah barangkali kenapa beliau berjuluk guru kader Nasionalis, Soekarnois dan Marhaenis.

Belakangan saya juga baru tahu bahwa sekretariat GMNI Blitar, yang biasa disebut DPC itu, bertempat di rumah Mbah Juned. Rumah yang ada patung Soekarno-Hatta.

Rumah yang berlokasi di Jalan Nias Kota Blitar itu kemudian menjadi magnet kuat, yang dikunjungi para marhaenis muda atau tokoh-tokoh dari gerakan nasionalis.

Kesan kuat tentang Mbah Juned juga tampak ketika beliau mengucap salam semua agama secara komplit. Semua salam itu, menurut beliau, direpresentasikan Bung Karno dengan salam Pancasila.

"Jadi salam pancasila ini mewakili semua salam-salam tadi," Jelasnya.

-00-

Belum sekalipun saya berkunjung untuk bersilaturahmi ke rumah beliau. Minimal untuk memperkenalkan diri. Khususnya dari komunitas muara baca, yang salah satu topik kajiannya adalah tentang pemikiran Bung Karno.

Melihat ketokohannya, sepertinya ada banyak cerita menarik yang pasti beliau sampaikan, terutama terkait Bung Karno dan sejarah.

Beliau lahir pada 31 Januari 1946, saat usia Republik Indonesia belum genap setahun.

Kala Bung Karno lengser pada 1966, Mbah Juned sudah berusia 20 tahun. Usia-usia aktivis mahasiswa. 

Mbah Juned termasuk kader GMNI generasi awal. Suatu gerakan mahasiswa yang terbentuk pada tahun 1954.

Sebagai aktivis dari sayap nasionalis, dan aktif pada era Bung Karno (Demokrasi Terpimpin) transisi ke Orde Baru, tentu ada banyak kisah bersejarah yang beliau miliki.

Juga alasan kenapa beliau tetap menyandingkan Soekarno-Hatta, bahkan membuat monumen patungnya. Itulah salah satu yang ingin saya tanyakan.

Ya, selain alasan keduanya adalah wakil Indonesia kala kemerdekaan diproklamirkan, tentu ada aspek lain. Terlebih mengingat pesannya kepada para marhaenis muda, untuk selalu melakukan revolusi.

Suatu pesan yang juga berulang kali disampaikan Bung Karno, revolusimu belum usai. Namun, Bung Hatta justru menyatakan bahwa Revolusi telah usai.

Dalam sejarah, Bung Karno dan Bung Hatta seperti api dan air, salah satu berkobar namun salah satunya pula yang memadamkan. Itu tampak saling bergantian. Termasuk dalam dua momentum besar, yaitu pasca Konferensi Meja Bundar 1949 dan Saat Dekrit 1959 dikeluarkan.

Buya Syafii Maarif menyebut, jika diibaratkan mobil, Bung Karno gasnya, Bung Hatta remnya. Namun Bung Karno juga kadang menjadi rem, dan begitupun sebaliknya.

-00-

Mbah Juned tentu punya harapan agar marhaenisme tetap hidup selamanya. Sehingga, gagasan filosofis-reflektif dari Bung Karno itu perlu tetap dirawat melalui wadah gerakan.

Konsistensi dan loyalitasnya ditunjukkan dengan kerelaannya ngemong atau mengayomi kader-kader nasionalis di Blitar, bahkan rumah pribadinya dijadikan sekretariat.

Menurut beberapa teman, Mbah Juned juga sosok yang religius. Bahkan tak jarang kader-kader GMNI yang beragama Islam diingatkan untuk shalat dan baca Qur'an.

Saya yang bukan kader saja, cukup kuat merasakan resonansinya. Loyalitas dan perhatiannya pada tumbuh kembangnya para marhaenis muda sungguh terasa.

-00-

Kepergian Mbah Juned memberikan duka yang mendalam pada banyak orang. Rumah dukanya dipadati para pelayat, pun dengan banyaknya karangan bunga ucapan belasungkawa, termasuk dari Ibu Megawati Soekarnoputri.

Sosoknya sangat genuine, dan barangkali sulit tergantikan. Tokoh yang merasakan suasana aktivisme dan politik pada 3 zaman yang berbeda.

Mbah Juned berpulang pada usia 74 tahun, Kamis 11 Juni 2020. Bulan Juni adalah bulan Bung Karno, tokoh yang sangat ia khidmati kiprah dan pemikirannya.

Selamat jalan, sang guru marhaenis. Laha Al-Fatihah.

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini