Ilmu Menulis dan Pengetahuan Menulis




Oleh Fahrizal A.

Ketika ingin punya keahlian menulis, langkah apa yang pertama akan kita lakukan?

Pertama, baca-baca buku teori kepenulisan. Teknik menulis, ejaan, majas-majas, dan sebagainya.

Kedua, mencoba membuat sebuah tulisan, lalu minta masukan pada teman-teman.

Langkah pertama mungkin paling banyak dilakukan. Logikanya, kan harus tahu teorinya dulu baru praktek. Maka segala teori kepenulisan pun dilahap.

Akan tetapi, pada saat masuk langkah kedua, tidak semua bisa melanjutkan. Teori yang dipelajari memang menyumbang cukup banyak pengetahuan menulis, namun di sisi lain menghambat kita untuk praktek, sebab melihat betapa idealnya sebuah tulisan yang tertuang dalam materi tersebut.

Sebenarnya, jika hanya sekadar ingin memiliki pengetahuan menulis. Langkah pertama bisa diambil. Simpel saja, kan hanya ingin tahu?

Namun jika ingin punya keterampilan menulis. Langkah kedua lah yang harus pertama dilakukan. Kan ingin menghasilkan tulisan, bukan ingin berdebat sama orang tentang teori menulis?

Nah, yang jadi masalah, ketika seseorang ingin memiliki keterampilan menulis, cara yang ditempuh adalah yang pertama dulu. Itu sangat beresiko, kenapa?

Karena ilmu dan pengetahuan adalah dua hal yang berbeda. Ilmu besifat praktis, ada prakteknya, ada keahliannya. Sementara pengetahuan adalah sebuah wawasan.

Seorang tukang icip bisa mengetahui lebih banyak varian Nasi Padang, bahkan dibanding juru masaknya. Namun juru masak lebih punya keterampilan untuk menyajikannya.

Pengetahuan yang luas beresiko menghambat, sebab ketika ia kemudian berlatih ilmu kepenulisan, apalagi dengan seorang guru atau mentor, ia tak akan bisa natural.

Saat mendalami suatu ilmu, diri kita harus kosong. Sementara, bagaimana jika pengetahuan kita sudah cukup terisi, sementara pengetahuan yang diberikan mentor itu berbeda? Akan terjadi gap. Alhasil, kita lebih (akan) sering berdebat soal teori kepenulisan ketimbang fokus untuk melatih skill menulis tersebut.

Apalagi, pengendalian diri masing-masing orang berbeda. Ego untuk merasa paling tahu membuat kita merasa harus membantah, ketimbang menahan diri untuk serius menyimak dan praktek.

Hal ini berbeda misalkan, kita mengambil langkah kedua. Belum ada pengetahuan yang kita miliki. Kita masih kosong, siap untuk diisi ilmu. Sehingga kita bisa lebih alami, serius dan tekun menyimak.

Atau, kalaupun kita sudah memiliki pengetahuan, yang kebetulan itu berbeda dari apa yang disampikan mentor, kita tahan dulu. Setidaknya, kita sadari bahwa mentor tersebut memiliki pengalaman yang lebih ketimbang kita. Tugas kita adalah menyerap ilmu dari pengelaman yang dimilikinya.

Dalam beberapa kelas menulis, kadang ada anggota yang memprotes penjelasan dari mentor, bahkan tidak mengindahkan setiap tugas yang diberikan. Anggota seperti ini lebih baik disuruh keluar dulu. Masuk lagi jika sudah siap.

Ya, sebab untuk bisa menerima sesuatu, kita harus membuka diri dulu, mengosongkan ruang agar hal baru itu bisa masuk dan menjadi bagian dari kita.

Jika sudah ada, sudah terisi, atau merasa sudah cukup dan tak perlu hal baru, untuk apa dilanjutkan?

Praktek ke teori

Namun tidak ada yang salah dengan teori. Kita memerlukannya untuk reparasi tulisan. Namun setelah tulisan ada, bukan?

Maka dalam komunitas, kami sering menggunakan istilah bengkel. Bengkel esai, bengkel puisi, bengkel cerpen dsb.

Dalam bengkel ada montir-montir. Montir ini bertujuan mengatasi permasalahan yang ada pada kendaraan, atau bisa jadi memolesnya, memodifikasi biar lebih artistik.

Anggap saja karya tulis itu ibarat kendaraannya. Maka dalam bengkel kepenulisan harus ada yang dibengkelin. Anda tidak mungkin pergi ke bengkel dan meminta montir membenahi motor yang baru akan dibeli bulan depan, kan?

Maka jika ingin mengusahi ilmu menulis, harus ada praktek, harus ada lakon, lelaku broto, dan sebagainya. Tak hanya tau teori dan merasa paling jago menulis. []

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini