Kota Hujan di Musim Hujan



Driver ojol menanti di lobi hotel, membawa pesanan saya. Hujan begitu deras, tepat malam minggu pula.

Bogor dikenal sebagai kota hujan, dan ini musim hujan. Komplit lah.

Selepas minum obat, kondisi badan sedikit membaik. Saya turun mencari udara segar di lantai 8, ruang terbuka sekaligus lokasi kolam renang.

Sekawanan pemuda sedang berenang di bawah guyuran hujan, malam-malam pula.

Sekawanan muda mudi lainnya sedang asyik bertik-tok ria. Jadwal malam ini semestinya keliling kota, atau nongkrong di warung Upnormal yang terkenal itu. Sesekali ingin merasakan bagaimana mie instan diracik dengan aneka topping.

Di lantai 8 itu juga ada fitness center, juga mini bar. Ada beragam bir yang bisa dipesan.

Hari sebelumnya, di lokasi yang sama, teman dari Cibinong datang. Selepas obrolan dengan kabilah dari Makassar, saya berbincang dengan warga Blitar, alumnus IAIN Tulungagung, yang kini berada di Cibinong.

Tinggal di kota besar, potensi dapat uangnya besar, namun habisnya juga cepat. Kerja menjadi konten writer begitu menjanjikan, betapa banyak perusahaan atau lembaga yang membutuhkan.

Daerah Jabodetabek termasuk yang UMK-nya tinggi di pulau Jawa, paling tinggi Karawang, 4,59 juta. Baru tahu jika UMK di Kabupaten Karawang lebih tinggi dari DKI Jakarta.

Namun pendapatan driver ojol bisa lebih tinggi dari UMK, jika rajin narik orderan. Teknologi informasi membuat profesi ojek jadi begitu bergengsi, dengan seragam khusus dan keramahan layanan.

Sesampainya di stasiun Bogor selepas turun dari KRL, saya naik Ojol. Sebelumnya berjalan kaki dahulu sekitar satu kilometer, sembari mengamati suasana sekitar.

Ada banyak tempat penitipan motor di area dekat stasiun, bahkan bisa dibayar lewat aplikasi. Tarifnya per jam dan harian.

Dalam perjalanan ke hotel, saya aktif berbincang dengan kang ojol, yang masih muda dan asli Bogor. Warna jaketnya juga nampak baru.

"Bogor masih adem mas," Ucapnya, saat motor masuk ke jalanan yang mengitari Kebun Raya.

Memang, hawa dingin langsung menyesap.

"Beda sama jakarta. Adem tapi tak terasa lagi ademnya," Lanjut kang Ojol.

Nah, saya mulai bingung apa maksudnya. Adem tapi tak terasa lagi ademnya?

"Karna banyak gedung-gedung tinggi."

O begitu. Tentu, Bogor kota hujan. Sederas apapun kota hujan diguyur hujan, tak akan banjir, karena banjirnya di tempat lain. Namun ademnya menetap.

Kenapa Bogor disebut kota hujan? Padahal jauh dari pantai. Ke arah selatan masih kabupaten, ke selatan lagi Sukabumi, baru ada pantai. Satu jalur dengan Pelabuhan Ratu yang terkenal itu.

Mungkin dari pantai selatan itu, air dibawa sampai ke Gunung Salak, lalu ditumpahkan di kota Bogor. Jadilah Bogor sebagai kota hujan. Atau mungkin juga air dari pantai utara, yang lebih dekat. Entahlah.

Makanya kampus pertanian termasyur ada di Bogor. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bahkan nama mallnya pun menggunakan kata Botanical.

Isu yang sempat hits juga di Bogor adalah soal LGBT. Konon perkembangannya pesat, sampai koran-koran membuat headline yang berlebihan.

Mungkinkah ada hubungannya dengan kota hujan, rain city, karena LGBT menggunakan simbol rainbow (pelangi). Sama-sama rain. Namun penjagal homo paling sadis berasal dari Jombang, namanya rian.

Belakangan muncul nama Rein-hard. Dari pelafalan kok ya mirip-mirip.

Entahlah, itu urusan mereka. Saya fokus menikmati kota hujan yang lagi hujan, sembari merampungkan tulisan ini, juga memulihkan kondisi tubuh, dan melirik bartender menyajikan minuman ke dalam gelas kaca. []

Bogor, 25 Januari 2020
Ahmad Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini