Suasana terasa hening sesaat ketika ada kabar meninggalnya Ustad Nadjib Hamid. Lalu sambut menyambut ucapan bela sungkawa tak henti-hentinya. Media massa pun ramai dengan berita kepergiannya.
Nama Nadjib Hamid begitu melegenda ketika saya mahasiswa. Kala itu, ia mejabat komisioner KPU Jawa Timur dan sering muncul ke media. Popularitasnya di bidang penyelenggara pemilu cukup tinggi, mungkin karena ia juga seorang penulis.
Di penghujung era 90-an, opini-opininya di media massa juga menjadi perbincangan luas, salah satu yang menanggapinya adalah Prof. Amien Rais. Itu saya temukan dalam buku Moralitas Politik Muhammadiyah.
Saat menjadi Pimpinan Cabang IMM Malang, jarang saya bertemu beliau di agenda-agenda Muhammadiyah, mungkin karena sedang mejabat sebagai komisioner KPU Jatim, kesibukannya sangat padat.
Namun, ketika kembali ke Blitar, saya justru sering melihat beliau hadir dalam sejumlah forum di Muhammadiyah. Tidak hanya sekali, namun beberapa kali, termasuk pada agenda Majelis Pendidikan Kader PDM Kabupaten Blitar.
Ternyata, Ustad Nadjib Hamid sangat low profile dan humble. Dialog pertama terjadi justru ketika Workshop Media yang diselenggarakan Majelis Pustaka dan Informasi, di Masjid Pojok, Garum. Beliau mengisi Stadium General yang sekaligus dikemas menjadi pengajian Ahad pagi.
Saya menyodorkan tautan blitarmu.id sebagai media lokal milik Muhammadiyah Kabupaten Blitar, namun beliau justru mengajak ke PWMU.co, berharap seluruh berita persyarikatan difokuskan ke PWMU.co sebab beliau membaca bahwa media yang dikelola tingkat daerah tidak semuanya bisa berkembang.
Bacaan beliau ternyata benar. Blitarmu.id memang sulit dikembangkan, sementara PWMU.co berkembang begitu pesat dengan kontributor dari daerah-daerah. PWMU.co adalah corong andalan PWM Jatim untuk "menghidupkan" penulis-penulis di daerah, bahkan hingga level ranting, dan salah satu man of ideanya adalah Ustad Nadjib Hamid.
Saya tidak menduga bahwa Ustad Nadjib Hamid punya perhatian penuh pada literasi, terlebih media. Padahal selama ini banyak yang membicarakannya sebagai salah satu figur dibalik suksesi terpilihnya komisioner KPU di daerah-daerah.
Dimensinya sebagai tokoh penting dalam bidang penyelenggara pemilu, ternyata bertalian erat dengan dimensinya sebagai penulis dan penggerak dakwah. Belum lagi dimensinya sebagai Da'i yang pandai berceramah dari mimbar ke mimbar.
Ustad Nadjib memang tidak selalu ingat dengan saya, meski sebelumnya pernah berbincang saat acara MPI di Blitar, beliau lupa nama saya ketika mengisi Latihan Instruktur di Malang. Namun langsung ingat kembali setelah membahas tulisan. Saya kemudian diberi hadiah buku berjudul Fiqih Kekinian.
Wajar, ada banyak orang yang bertemu beliau, ada banyak nama juga yang sekilas mirip. Lagipula, siapalah saya ini. Akan tetapi soal tulisan, beliau hampir selalu ingat.
Misal, dua tulisan saya yang dimuat Majalah MATAN, juga karena perhatian beliau. Tulisan yang notabene adalah project LPCR tersebut. Bayangkan, saya hanya menyodorkan 3 tulisan, dan ketiganya dipilih untuk dimuat di MATAN, meski dua tulisan terakhir dijadikan satu rangkaian.
Sampai akhir hayatnya, Ustad Nadjib mejabat sebagai Pimpinan Umum Majalah MATAN, namun sebagai pimpinan umum ia sangat peduli dengan konten majalah, terutama yang berkaitan dengan dinamika dakwah.
Untuk tulisan terakhir misalnya, beliau selalu menanyakan, lewat Pak Sunan Mahmud atau lewat saya langsung. Mungkin beliau tak begitu mengingat saya dengan baik, hanya saja kadang menghubungi dan menanyakan : ini apa yang dari Blitar itu?
Saya diminta melengkapi tulisan terakhir. Namun tidak kunjung saya selesaikan, sementara majalah harus terbit tepat waktu. Beliau menyatakan jika tulisan itu penting karena berkaitan dengan sejarah Blitar selatan.
Sayang, sampai dateline yang ditentukan data terbaru belum saya kirimkan, namun ... tulisan tersebut tetap terbit dengan mengkombinasikan satu tulisan lainnya yang ditolak karena kurang dari 700 kata.
Betapa concernnya beliau pada tulisan tentang dakwah di salah satu Cabang Muhammadiyah, padahal sebagai Pimpinan Wilayah beliau berinteraksi dengan ratusan bahkan ribuan orang di daerah dan cabang Muhammadiyah.
Ternyata, sekalipun ada beberapa jabatan politik dan keumatan yang pernah diemban Ustad Nadjib Hamid, jiwanya tetaplah seorang penulis, hatinya tetaplah Muhammadiyah.
Ustad Nadjib Hamid memahami betul betapa sulitnya menulis, atau mengumpulkan data terkait sejarah, sehingga apresiasinya begitu tinggi.
Dulu saya mengira orang-orang banyak menemui atau sekadar ingin mengenal Ustad Nadjib Hamid karena ada kepentingan tertentu, misalnya karena hendak terlibat di penyelenggara pemilu.
Namun ternyata beliau punya banyak dimensi, orang bisa menemui dan mengenalnya lewat banyak pintu. Salah satu pintu yang paling terbuka adalah literasi, sebab bayangkan saja, lewat PWMU.co atau MATAN, kontributor daerah dihidupkan.
Maka tak heran jika kepergiannya menjadi duka banyak orang. Ustad Nadjib Hamid punya perhatian pada banyak hal, banyak bidang, dan banyak orang. Lihat saja betapa banyak obituari yang ditujukan untuknya, dan masing-masing punya kesan mendalam.
Jujur, salah satu yang membuat saya aktif menulis tentang Muhammadiyah belakangan ini karena kemungkinan tulisan itu akan dibaca oleh Ustad Nadjib Hamid.
Ustad Nadjib Hamid kadang bisa langsung memahami tanpa harus banyak bertanya. Sebenarnya saya pernah diminta untuk lebih banyak mengirimkan berita-berita kegiatan Muhammadiyah Blitar ke PWMU.co. katanya berita dari Blitar di PWMU.co masih minim.
Permintaan itu mungkin terlihat biasa. Namun ini adalah permintaan dari salah satu Pimpinan Muhammadiyah tingkat Jawa Timur kepada seorang biasa di level daerah. Jika bukan sosok humble mana mungkin hal itu beliau lakukan?
Kepergiannya seolah menyisakan kekosongan. Namun lewat banyaknya tulisan tentang beliau, semangat dan dedikasinya mungkin akan terus menular ke kader-kader Muhammadiyah bahkan hingga level akar rumput.
Blitar, 14 April 2021
Ahmad Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini