Menuliskan Cerita-cerita Perubahan


Salah satu peserta pelatihan sedang berada di pulau, itu terlihat dari camera zoomnya yang menyorot ke laut, ada dua perahu tongkang, tampak pantai yang jernih dan indah.

Di antara peserta pelatihan menulis pagi itu adalah beberapa perwakilan dari LBH APIK Makassar, dan SANTAI dari NTB, yang masuk zona WITA.

Materi pada sesi pertama adalah story change, dijelaskan oleh Luviana, Chief Editor Konde.co yang juga dosen.

Ini adalah lanjutan dari agenda Creating Space yang digelar Oxfam di tahun terakhir, yang rencana mau dicetak menjadi sebuah buku.

Kira-kira 1,5 tahun lalu kami berjumpa di Bogor, meski di forum yang berbeda. Karena saya tidak masuk kelas menulis, namun kelas MEAL. Pikir saya saat itu: kan saya sudah terlalu banyak ikut pelatihan menulis?

Ternyata, saya pun dipilih untuk mengikuti sesi pelatihan menulis berikutnya. Karena pandemi, pelatihan digelar via zoom.

Pelatihan ini akan disertai dengan praktek, coaching, hingga tulisan tersebut siap dibukukan. Tim fasilitatornya dari konde.co, dengan tambahan narasumber dari Jurnalis Kompas dan Tempo.

Sekilas tentang pelatihan sesi 1

Kenapa harus menuliskan cerita perubahan? Karena selama ini banyak yang membahas persoalan. Begitu kata Luviana.

Padahal, dalam perubahan ada inspirasi, ada harapan, ada keteladanan.

Bagian ini menarik, bagi saya yang biasa menulis opini, yang sering mempersoalkan sesuatu. Benar juga, kita sering mempersoalkan sesuatu dan berharap pemerintah membereskannya.

Luviana menjelaskan misalkan selama pandemi ini, tentu masih banyak persoalan yang dihadapi, mulai dari layanan kesehatan dan sebagainya, namun ada cerita perubahan yang bisa diangkat, seperti gerakan tak terduga dari masyarakat yang membantu sesamanya. Itu salah satu story change.

Lalu bagaimana bisa mengetahui jika itu termasuk cerita perubahan?

Dalam hal ini, kita sebagai penulis memang harus membuat analisis before dan after. Apa yang terjadi sebelumnya dan apa perubahan setelahnya.

Memang, pelatihan dikhususkan (atau dibatasi) untuk menuliskan perubahan apa yang sudah terjadi selama project Creating Space berjalan di daerah.

Lewat YKP, saya menjadi pioner atau kelompok yang menjalankan program tersebut di Blitar. Kami punya komunitas relawan, RP3A Blitar. Rencana komunitas ini juga yang nantinya akan saya angkat sebagai kelompok pembawa perubahan tersebut.

Isinya masih anak-anak muda, di bawah 22 tahun. Sudah banyak sekali program dijalankan.

###

Membuat analisis before dan after itu ternyata tidak mudah, perlu sedikit riset dan konfirmasi apakah setelah program masuk ada beberapa perubahan? Sekecil apapun bisa dituliskan.

Menulis cerita perubahan ternyata punya cita rasa tersendiri. Sebelum acara dimulai, Dini Anitasari dari Oxfam memberi pengantar yang menarik: perubahan bisa mungkin terjadi pada individu, masyarakat dan pemerintah/kebijakannya.

Oxfam punya tagline yang sangat menggugah: masa depan tanpa kemiskinan.

Itu membuat saya mengingat kembali teori perubahan sosial yang pernah dipelajari di bangku sekolah. Pada intinya, perubahan itu memang alamiah.

Oxfam misalnya memperjuangkan, salah satunya, hak-hak anak untuk tumbuh kembang, mendapatkan gizi yang cukup, pendidikan yang baik, dan rasa aman di lingkungannya.

Saya dan teman-teman menjadi bagian atau eksponen di daerah yang selama ini mungkin tak pernah terpikir untuk menuliskan story change. Padahal itu penting, sebagai bahan evaluasi misalnya.

Tidak hanya itu, menuliskan cerita perubahan juga bisa untuk diri sendiri. Misal, apa yang berubah dari kita sebelum dan setelah kuliah misalnya, atau sebelum dan setelah ikut sebuah komunitas/gerakan.

Kita berubah, masyarakat berubah, dan banyak hal berubah, sayang kita jarang menuliskannya. Padahal perubahan bisa saja ke arah positif atau negatif.

Selanjutnya, saya akan sedikit menceritakan materi sesi 2 yang dibawakan Sonya Helen Sinombor, wartawan senior/redaktur Harian Kompas.

Blitar, 30 Juli 2021
Ahmad Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini