Buya Syafii Maarif adalah tokoh yang luas pergaulannya, termasuk dengan para seniman. Ia pun memiliki pandangan tersendiri soal seni.
Menurutnya, seni itu menyimpan kekuatan, the power of beauty. Pergaulannya dengan para seniman memberikan dampak besar padanya.
"Bergaul dengan para seniman turut membuka dan mempertajam cakrawala spiritual saya memahami manusia," jelasnya saat mengisi kuliah umum di ISI Padangpanjang 16 Maret 2015.
Lebih dari 12 tahun ia bergaul dengan para seniman di Akademi Jakarta, atas permintaan penyair terkenal W.S Rendra.
Buya Syafii sendiri juga seorang penikmat karya sastra, dalam tulisan-tulisannya ia kerap mengutip M. Iqbal, sastrawan asal Pakistan. Buya juga banyak menyebut nama penyair seperti Sutan Takdir Alisjahbana (STA), N.H Dini, A.A Navis hingga Abdul Muis.
Buya pernah menulis obituari khusus tentang sastrawan Ajip Rosidi di Harian Kompas yang berjudul Ajip Rosidi dan Budaya Sunda 2020 silam.
Pada HUT ke-80 Buya Syafii Maarif, digelarlah sebuah panggung teater berjudul Fundamentalis Insyaf oleh Maarif Institute, yang dipentaskan oleh Butet Kertaradjasa, Djaduk Ferianto dan Agus Noor.
Buya menaruh perhatian besar pada seni dan budaya, karenanya ia termasuk yang mendukung langkah penyair Taufiq Ismail yang dulu memperkenalkan sastra ke sekolah-sekolah melalui Majalah Horison.
Ia juga pernah ditanya oleh sastrawan D. Zawawi Imron tentang perbedaan seniman dan politisi. Menurut penyair asal Madura itu, bedanya seniman dan politisi:
Seniman itu orang yang tersesat di jalan yang benar, sementara politisi adalah orang yang merasa benar di jalan yang salah.
Tentu itu hanya sebuah joke atau guyonan belaka, namun Buya juga menjelaskan bahwa politik itu liar jika tidak mendapat sentuhan seni, oleh sebab itu seni harus mampu menjinakkan politik.
Kedekatan Buya Syafii Maarif dengan para seniman memang tidak bisa dipungkiri lagi, terlebih di Yogyakarta.
Beberapa moment ia terlihat akrab dengan anak-anak Mojok.co, dengan Penulis Edi Mulyono, atau pelukis Jumaldi Alfi.
Sederet penyair pun pernah menulis sosok Buya seperti Raudal Tanjung Banua dan Riky Dhamparan Putra, yang baru saja menerbitkan buku berjudul Berdiang di Perapian Buya Syafii.
Ketertarikan Buya pada seni dan karya sastra turut memengaruhi corak karya tulisnya. Misalnya, Buya kerap membuat kiasan, di antara yang terkenal adalah Negara Indonesia harus bertahan sehari sebelum kiamat.
Untuk menyindir para politisi yang hanya berpikir lima tahunan pun Buya juga membuat istilah politisi rabun ayam. Atau istilah preman berjubah untuk kelompok ekstremis.
Kalimat Menggali Kuburnya Sendiri juga muncul dari Buya Syafii sebagai kritik bagi mereka yang malas dan tak serius menjalankan tugas dan kewajibannya.
Dalam diri Buya ada sisi seniman, pergaulannya dengan para seniman pun memberikan kekuatan spiritual tersendiri. (Red.b)
Baca juga: Kedekatan Buya Syafii dan Nurcholish Madjid
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini