Dalam berkomunikasi, orang Jawa kerap menggunakan bahasa simbol, entah penyamaran kata atau simbol berupa ekspresi wajah dan gerak tubuh.
___
loading...
Orang Jawa terbiasa menggunakan bahasa terselubung, atau sinamun ing samudana (menutup kata-kata tersamar), entah melalui sanepan (kiasan) atau sekadar dengan gesture tubuh dan ekspresi wajah.Namun dalam praktiknya tidak demikian. Sanepan dan bahasa simbol itu hanya digunakan untuk berkomunikasi di kalangan tertentu atau dalam suasana tertentu.
Orang Jawa juga bisa berbicara apa adanya, yang dikenal dengan istilah dhupak kuli, namun itu jarang sekali dilakukan karena berpotensi dhupak/menyakiti hati orang yang mendengarnya.
Di kalangan priyayi atau kelas bangsawan, hanya mereka yang dianggap tanggap rasa atau tanggap ing sasmita lah yang diajak berdialog dengan bahasa simbol.
Itu dilihat dari kelas sosial dan pendidikannya, orang yang terdidik dianggap tanggap rasa dan tanggap ing sasmita sehingga cara berkomunikasinya lebih menggunakan sanepan atau simbol-simbol.
Hal yang tidak mungkin dilakukan dengan rakyat biasa atau rakyat jelata yang kerap disebut kawula, karena mereka jelas akan sulit memahami dan menangkap maksudnya.
Rasa-pangrasa
Orang Jawa, baru dikatakan Njawani ketika mereka sudah pada fase ngudi rasa-pangrasa atau sudah pada level rasa.
Orang Jawa mengenal istilah bener lan pener, benar namun tidak benar. Misalnya, informasi benar juga harus disampaikan dengan cara yang benar, termasuk dalam mengungkapkan pendapat.
Pendapat yang benar namun disampikan dengan fullgar yang berdampak menyakiti hati dianggap bener nanging ra pener.
Orang Jawa terus dilatih soal rasa, sehingga muncul pepatah Jawa yang populer iso o rumongso, ojo rumongso iso. (Bisalah merasa, jangan merasa bisa).
Karena tanggap rasa atau tanggap ing sasmita inilah salah satu syarat jadi orang Jawa seng Njawani.
Memaknai senyum
Praktik tanggap rasa itu dilakukan dari level raja hingga pejabat bawahannya.
Setiap kali memanggil pejabat di bawahnya untuk mendengarkan laporan atau klarifikasi, raja biasanya tidak banyak bicara atau mengomentari setelah mendengarnya.
Raja hanya tersenyum, tapi senyum itu akan dibaca sedemikian rupa sebagai simbol, apakah senyum puas, senyum bangga, senyum kecewa, atau senyum meremehkan.
Raja lain menunjukkannya dengan simbol ekspresi wajah. Maka seorang pejabat yang sudah tanggap rasa atau tanggap ing sasmita itu lekas paham apakah raja puas dengan kinerjanya atau tidak, tanpa perlu banyak berdialog panjang.
Misalnya besok ia dicopot, atau dipindah tugas, itu sudah ia perkirakan sejak awal. Raja tidak mungkin menyampaikannya langsung karena itu bisa berpotensi menyakiti perasaan dan mempermalukannya di hadapan banyak orang.
Keputusan Raja kerap jadi misteri di kalangan abdi dalem atau rakyat biasa karena memang bahasa yang dipahami berbeda-beda.
Praktik di masyarakat
Namun di masyarakat, bahasa simbol atau sanepan itu juga sering dipraktikkan, terutama karena masih kuatnya budaya ewuh pakewuh (merasa tidak enak hati atau tidak tega).
Kadang-kadang ada benturan budaya, terutama budaya barat atau budaya lain yang terbiasa apa adanya, sementara orang Jawa terbiasa Sinamun Ing Samudana atau menyamarkan makna sesungguhnya.
Namun hirarkis itu mulai terkikis karena sistem pemerintahan yang berbeda. Sekarang kita menganut sistem demokrasi yang egaliter, selain itu dari segi pendidikan orang Jawa juga banyak yang mengenyam perguruan tinggi, berbeda dengan dulu, hanya kalangan priyayi saja yang mampu sekolah.
Namun bukan berarti bahasa simbol itu hilang, malah bahasa simbol dianggap punya nilai sastra tersendiri, sehingga masih tetap dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. #red.F
Sumber rujukan informasi:
Buku Etnologi Jawa karya Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum
Buku Prinsip Ekonomi dalam Kebudayaan Jawa karya Soetrisno HP
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini