Suara Sastra edisi 37 (9/6/24) di antaranya, berdiskusi tentang masuknya sastra ke dalam kurikulum merdeka/kurikulum pendidikan formal.
Aku pun jadi teringat waktu Aliyah, mengambil jurusan bahasa ketika menginjak kelas XI dan XII. Salah satu mapelnya adalah Sastra Indonesia, bahkan menjadi mapel ujian nasional jurusan bahasa.
Tak ada alasan khusus kenapa aku memilih kelas bahasa, tak juga karena tertarik pada pelajaran Sastra, lebih untuk menghindari mapel Fisika dan Kimia.
Namun karena Sastra menjadi salah satu mapel Ujian Nasional, porsinya setara dengan mapel lain seperti Matematika, Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia.
Sejak saat itu, beberapa nama penyair mulai familiar di telingaku, mulai dari NH. Dini, Abdul Moeis, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, dan tentu saja, the one and only, Chairil Anwar.
Beberapa novel atau roman agak terpaksa aku baca, dan itu menjadi penanda awal dalam hidupku yang selanjutnya menggeluti dunia baca tulis.
Semakin komplit karena aku aktif di ekstrakurikuler Jurnalistik, didaulat menjadi ketua dan mengawal publikasi sekolah mulai dari Majalah, Buletin, hingga Majalah Dinding.
***
Bertemu pelajaran Sastra sama sekali tak menakutkan, kebetulan guru pengampunya adalah jebolan sastra murni, yang bisa mengajar karena akta IV (dulu hal itu memungkinkan).
Jebolan Sastra Murni lebih mengajarkan sastra sebagai "konten seni", hal yang mungkin sedikit berbeda dari sarjana pendidikan Bahasa dan Sastra yang lebih ke teknis kebahasaan.
Itulah keberuntungan kami, mendapat guru yang mampu mengintrepretasi karya sastra lebih luas dan mendalam, termasuk mempelajari konteks budayanya.
Saat itu, aku pun tak pernah bertanya, apa manfaat belajar Sastra? Semua hanya dijalani apa adanya, meski pertanyaan yang sama juga akan terlontar andai aku "tersesat" ke jurusan IPA, sebagaimana yang direkomendasikan guru BK.
Coba, apa sih manfaat belajar matematika sampe tingkat matrik, integral atau program linier jika selepas lulus tak mengambil spesifikasi bidangnya?
Toh dalam kehidulan sehari-hari yang lebih dipakai adalah Calistung. Apalagi semakin canggihnya teknologi, lewat microsoft excel saja segala bentuk penghitungan bisa terselesaikan dengan cepat.
Tapi percayalah, segala hal pasti ada manfaatnya, dan itu tidak langsung terasa.
Pada masa mendatang, Tuhan menakdirkanku terus bergelut di bidang bahasa. Hal ini membuatku tak pernah menyesali kenapa dulu aku mengambil jurusan bahasa.
Di sisi lain, bacaan-bacaan sastra yang kulahap ternyata menyumbang cukup banyak perubahan persepsi, cara pandang melihat sesuatu dan kecakapan berbahasa.
Hingga saat ini, aku menikmati segala event yang berkaitan dengan sastra, meskipun aku sekadar penikmat sastra, kecil-kecilan membuat puisi dan cerpen.
Aku menikmati kata demi kata yang digubah oleh penyair, permainan diksinya, konteks yang melatarbelakangi karyanya, dan sebentuk tafsir atau spekulasi ketika membaca dan mendiskusikannya.
***
Lalu bagaimana idealnya sastra diajarkan di sekolah? Sebenarnya karya sastra sudah diajarkan di sekolah, puisi-puisi Chairil Anwar sering nangkring pada buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia.
Sebelum masuk kelas bahasa dan membaca karya sastrawan lainnya, hanya Chairil Anwar nama sastrawan yang aku ingat karena seringnya puisi ciptaannya dikupas, terutama dari aspek majas.
Anak-anak sekolah mungkin bisa diperkenalkan karya-karya sastra, dikaji dari aspek kebahasaannya, dan itulah yang terjadi selama ini ketika sastra dipelajari dalam tembok-tembok formal.
Atau mereka diminta membaca belasan buku sastra sebelum lulus, sebagaimana yang dulu diterapkan di sekolah-sekolah zaman kolonial Belanda, terutama HBS dan AMS.
Belajar sastra tanpa membaca dan mengkaji karya sastra ibarat berenang di permukaan. Tapi sebagai permulaan itu sudah lumayan.
Lagipula, tak ada salahnya siswa berkenalan dengan karya-karya bermutu dari para sastrawan, novelis, cerpenis hingga musisi-musisi yang memperkaya lirik-lirik lagunya.
Blitar, 10 Juni 2024
Ahmad Fahrizal A.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini