Di era digital yang serba cepat ini, membaca buku seakan menjadi kegiatan yang langka dan unik. Kehadiran ponsel pintar di tangan setiap orang telah mengubah kebiasaan masyarakat dalam mengakses informasi.
"Sekarang siapa yang tak punya HP? Semua punya, bahkan satu orang bisa lebih dari satu," ungkap Ahmad Fahrizal Aziz, salah satu aktivis literasi di Blitar.
Fahrizal, yang juga pendiri Forum Lingkar Pena Blitar, melihat tantangan yang semakin berat dihadapi oleh perpustakaan.
"Perpustakaan sibuk menambah buku, namun orang sudah mulai jarang yang membacanya," ujarnya.
Meskipun demikian, Fahrizal sendiri masih membiasakan diri membaca buku, minimal 15 menit setiap hari.
"Setiap hari 15 menit, lumayan dapat 5-6 lembar, kalau sebulan bisa satu buku khatam," terangnya.
Sebagai aktivis literasi, Fahrizal memahami bahwa membaca adalah aktivitas personal. Oleh karena itu, perpustakaan harus lebih inovatif dalam menggelar agenda untuk menarik minat masyarakat.
"Kalau hanya menawarkan buku, orang tidak akan datang. Harus ada program pengiring seperti diskusi buku, panggung seni, dan sebagainya," jelasnya.
Fahrizal menyambut baik program literasi berbasis inklusi sosial yang sedang digalakkan. Sosok muda yang juga pengurus Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Blitar ini mengingatkan agar Dinas Perpustakaan tidak bersaing dengan Dinas Koperasi.
"Tetap basisnya adalah membaca dan menulis, itu basic," pungkasnya.
Pernyataan Fahrizal ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa peran perpustakaan dalam membangun budaya literasi di era digital tidak boleh dianggap remeh.
Perpustakaan harus terus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan menghadirkan program-program yang menarik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat juga perlu didorong untuk kembali mencintai buku dan menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Membaca tidak hanya bermanfaat untuk menambah pengetahuan, tetapi juga untuk meningkatkan daya pikir, kreativitas, dan kecerdasan emosional.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini