Yang Kunikmati dari Blitar



Cerita Laras

 


Setelah lulus SMA, aku sempat bekerja dua tahun di sebuah hotel, lalu hijrah ke Ibukota. Alhamdulillah, aku bisa survive di sana, bahkan membangun kehidupan yang baru. Namun, kembali ke Blitar adalah sebuah kebahagiaan tersendiri.

 

Blitar memang tak semodern Ibukota. Transportasi umum di sini masih jauh dari kata mendukung. Aku harus menyewa transportasi privat untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Untungnya, aku masih punya teman di sini, meskipun aku tak punya lagi tempat tinggal di Bumi Bung Karno ini.

 

Tapi, justru karena Blitar yang apa adanya, jauh dari derap modernitas inilah yang kurindukan. Ada beberapa tempat menepi yang menyenangkan di sini. Telaga Pacuh, dengan airnya yang jernih dan sejuk,  menawarkan ketenangan yang tak ternilai.  Pinggir Sungai Lodagung, dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah, membuat hati terasa damai. 


Dan Kolam Renang Penataran, dengan airnya yang sejuk dan alami, dikelilingi pohon-pohon besar yang teduh, menawarkan kesegaran yang tak terlupakan.

 

Fahrizal, adik kelas yang menemaniku keliling, juga merasakan hal yang sama. Dia sempat tinggal di Malang, tapi memilih kembali ke Blitar dengan segala perjuangannya.  


Setelah menikmati Mie Ayam Karanglo, dia mengajakku ngopi sore di pinggir Sungai Lodagung.  Suasana syahdu, dengan suara gemericik air dan kicauan burung,  benar-benar tak bisa kurasakan di Ibukota.

 

Di sini, aku bisa merasakan kembali ketenangan dan keharmonisan yang tak ternilai.  Aku bisa bernapas lega,  melepaskan segala penat dan hiruk pikuk Ibukota.  


Blitar, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi rumahku, tempat di mana aku bisa menemukan kembali diriku.

 

Sebelum kembali ke Ibukota, aku ingin menikmati masa-masa indah di Blitar, menikmati setiap momen,  dan menyerap kembali energi positif dari bumi patria ini.


📸 Hisyam Rafiqi

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini