Al-Farabi, Cahaya dari Timur



Di sebuah desa kecil bernama Wasij, di tepian sungai yang mengalir tenang di wilayah Farab, seorang anak laki-laki duduk termenung di bawah pohon rindang. 

Ia memandangi langit malam yang bertabur bintang. Namanya Abu Nasr Muhammad, tetapi teman-temannya memanggilnya Nasr. 

Di usianya yang masih belia, ia sudah menunjukkan rasa ingin tahu yang luar biasa.

“Bapak, mengapa bintang itu bersinar?” tanyanya suatu malam kepada ayahnya, seorang perwira militer yang dihormati.

“Bintang adalah tanda kebesaran Tuhan, Nasr. Ia mengajarkan kita untuk tidak pernah berhenti mencari,” jawab ayahnya dengan lembut. 

Kata-kata itu terukir dalam hati Nasr, menjadi cahaya yang menuntunnya dalam perjalanan hidupnya.

Sejak kecil, Nasr rajin belajar. Gurunya di desa kagum dengan kepandaiannya membaca Al-Qur'an dan mempelajari tata bahasa. 

Tetapi ia merasa ada sesuatu yang kurang. Ia mendengar cerita tentang Baghdad, kota besar tempat ilmu pengetahuan dan filsafat berkembang. Nasr merasa terpanggil.

“Bapak, aku ingin pergi ke Baghdad,” ujarnya suatu hari. Ayahnya, meskipun berat melepas, memahami ambisi anaknya.

Perjalanan ke Baghdad

Dengan bekal sederhana, Nasr menempuh perjalanan panjang. Di Baghdad, ia menemukan dunia baru. 

Di sana, ia belajar di bawah bimbingan Yuhanna ibn Haylan, seorang ahli logika, dan Abu Bishr Matta ibn Yunus, seorang penerjemah besar karya-karya Yunani. Keduanya melihat bakat luar biasa dalam diri Nasr.

“Logika adalah kunci untuk memahami alam dan manusia,” kata Yuhanna. 

Nasr menyerap setiap ajaran dengan semangat. Ia membaca karya Aristoteles dan Plato, merenungkan gagasan-gagasan mereka, tetapi selalu mencari cara untuk menyelaraskannya dengan keimanannya.

Nasr tidak hanya belajar, tetapi juga menciptakan. 

Ia mulai menulis pemikirannya tentang bagaimana akal dan wahyu dapat bersatu. 

Ia menyusun gagasan tentang masyarakat ideal, di mana pemimpin adalah seorang filsuf bijak yang memimpin rakyatnya dengan adil.

Musik dan Jiwa

Suatu hari, Nasr mendengar lantunan musik di pasar Baghdad. Ia terpesona. 

“Musik dapat menyentuh hati manusia lebih dalam daripada kata-kata,” pikirnya. 

Ia mulai mempelajari alat musik, menulis tentang bagaimana musik memengaruhi jiwa, dan menghubungkannya dengan harmoni alam semesta.

Sang Guru Kedua

Ketika Nasr kembali ke kampung halamannya bertahun-tahun kemudian, ia sudah menjadi seorang ulama besar yang dikenal dengan nama Al-Farabi. 

Ia tidak mengejar kekayaan atau jabatan, melainkan memilih hidup sederhana. 

Masyarakat setempat sering melihatnya duduk di bawah pohon, membaca atau menulis, seperti saat ia kecil dulu.

Seorang pemuda bertanya kepadanya, “Wahai Guru, apa tujuan hidup?”

“Tujuan hidup,” jawab Al-Farabi sambil tersenyum, “adalah memahami kebesaran Sang Pencipta melalui akal dan hati, dan menggunakannya untuk kebaikan manusia.”

Nama Al-Farabi menyebar ke penjuru dunia, dikenang sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles. 

Namun, bagi penduduk Farab, ia tetaplah Nasr, anak kecil yang selalu bertanya tentang bintang. 

Ia menjadi bukti bahwa rasa ingin tahu yang dipupuk dengan ilmu dan iman dapat menyalakan cahaya bagi dunia.

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini