Kakak Kartini Memang Bernama Kartono, Ini Bukan Lelucon

Raden Mas Panji Sosrokartono, Intelektual, Mistikus, dan Jembatan Timur-Barat

Dalam sejarah Indonesia, nama Raden Mas Panji Sosrokartono (1877–1952) kerap tertutupi oleh popularitas adik perempuannya, Raden Ajeng Kartini. 

Namun, di balik bayang-bayang Kartini, Sosrokartono berdiri sebagai sosok yang luar biasa, seorang intelektual multibahasa, wartawan perang kelas dunia, mistikus Jawa, dan pemikir spiritual yang relevan hingga hari ini. 

Ia adalah jembatan antara Timur dan Barat, antara ilmu dan kebijaksanaan lokal, serta antara modernitas dan spiritualitas.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Lahir di Jepara, Sosrokartono merupakan anak dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Nyai Ngasirah. Ia tumbuh dalam lingkungan priyayi yang mendorong pendidikan tinggi. 

Pada akhir abad ke-19, ia dikirim ke Belanda dan menjadi salah satu pribumi pertama yang kuliah di Eropa. Ia sempat belajar di Sekolah Teknik Tinggi Delft sebelum pindah ke Universitas Leiden, tempat ia mendalami Bahasa dan Sastra Timur.

Kecerdasan Sosrokartono membuatnya menonjol. Ia menguasai lebih dari 36 bahasa, termasuk bahasa Asia, Eropa, dan berbagai bahasa daerah di Nusantara. 

Prestasi ini menjadikannya tokoh langka pada zamannya: seorang intelektual Jawa yang mampu menembus batas akademik dunia Barat tanpa kehilangan akar budayanya.

Karier Internasional: Wartawan dan Penerjemah Dunia

Setelah menyelesaikan studinya, Sosrokartono menapaki karier internasional yang gemilang. Saat Perang Dunia I berkecamuk, ia menjadi wartawan perang untuk surat kabar New York Herald Tribune. 

Berkat kedekatannya dengan kalangan militer dan diplomat, ia diberi pangkat Mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat demi mempermudah akses peliputan.

Pasca perang, kariernya berlanjut ke Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa), di mana ia menjabat sebagai ketua penerjemah. 

Keahliannya dalam menerjemahkan secara simultan dan lintas budaya membuatnya dihormati di dunia diplomasi internasional. Di Eropa, ia dijuluki "Si Jenius dari Timur".

Kembali ke Tanah Air, Pergeseran ke Jalan Spiritual

Meski sukses di dunia internasional, Sosrokartono memilih untuk kembali ke Indonesia. Ia menetap di Bandung dan menjauh dari gemerlap dunia akademik maupun politik. 

Di sana, ia membuka balai pengobatan bernama "Darussalam", tempat ia menyembuhkan orang dengan air putih dan doa.

Pilihan hidup ini mengejutkan banyak orang, namun mencerminkan transformasi spiritualnya. Ia mulai dikenal bukan hanya sebagai cendekiawan, tetapi juga sebagai guru spiritual. 

Sosrokartono mengajarkan nilai-nilai hidup melalui contoh dan kesederhanaan, bukan ceramah panjang.

Pemikiran dan Ajaran, Harmoni, Kesadaran, dan Pelayanan

Salah satu inti ajaran Sosrokartono adalah konsep "Ilmu Kantong Bolong" dan "Ilmu Kantong Kosong". Kantong bolong melambangkan keikhlasan dalam memberi—apa yang diberikan tak perlu diingat atau diharapkan kembali. 

Sementara kantong kosong menandakan kerendahan hati dan kesiapan untuk terus belajar.

Ia juga memperkenalkan konsep "Catur Murti"—kesatuan antara pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan. Menurutnya, hanya jika keempat unsur ini selaras, manusia bisa hidup secara utuh dan seimbang.

Dalam kaligrafi huruf Alif yang sering ia tulis, para peneliti menemukan makna sufistik. 

Huruf Alif digambarkan sebagai lambang keesaan Tuhan (Tauhid), yang selaras dengan konsep Insan Kamil dalam tasawuf Islam, sebagaimana dikaji oleh Aguk Irawan. 

Simbolisme ini menegaskan bahwa spiritualitas Sosrokartono tidak eksklusif untuk satu agama, tetapi merangkul nilai universal.

Pengaruh Sosial dan Pendidikan Karakter

Meski tidak secara formal menjadi pendidik, Sosrokartono meninggalkan warisan besar dalam pendidikan karakter. Penelitian oleh Edris Zamroni dan lainnya menunjukkan bahwa ajaran Sosrokartono—seperti kesederhanaan, ketulusan, gotong royong, dan tepa selira—sangat relevan untuk pembentukan karakter anak bangsa di era modern.

Konsep hidup "linuwih" yang diangkat dari filosofi Jawa juga diartikulasikan oleh para akademisi sebagai bentuk kebijaksanaan yang berakar pada budaya lokal. 

Ia menginspirasi pendekatan pendidikan berbasis kearifan lokal yang kini mulai banyak dikaji oleh peneliti Indonesia dan luar negeri.

Relasi dengan Kartini dan Nilai Humanisme

Sebagai kakak kandung Kartini, Sosrokartono memberi pengaruh besar terhadap pemikiran emansipasi dan pendidikan yang diperjuangkan adiknya. Dalam beberapa surat Kartini, ia menyebut kekagumannya pada sang kakak yang telah menembus batas Eropa.

M. Agus Wahyudi dan Syamsul Bakri bahkan menyebut Sosrokartono sebagai figur "Javanese Religious Humanist"—seseorang yang menjadikan pelayanan kepada manusia sebagai bentuk tertinggi pengabdian kepada Tuhan (ngawula marang kawulane Gusti).

Warisan dan Relevansi Masa Kini

Hingga hari ini, Sosrokartono belum mendapatkan tempat yang layak dalam historiografi nasional. Namun minat terhadap pemikiran dan warisannya terus tumbuh. 

Akademisi, penulis, hingga pendidik mulai menggali ajaran-ajarannya untuk diterapkan dalam konteks kontemporer.

Dalam dunia yang semakin pragmatis dan materialistik, ajaran Sosrokartono tentang keikhlasan, kesederhanaan, dan keselarasan diri menjadi oase spiritual. 

Ia menunjukkan bahwa kebesaran seorang manusia tidak hanya dinilai dari prestasi duniawi, tetapi juga dari kedalaman nilai yang ia tanamkan dalam hidup dan masyarakat.

***

R.M.P. Sosrokartono adalah tokoh yang melampaui zamannya. Ia bukan hanya jenius dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam menjalani kehidupan secara autentik. 

Sebagai penghubung antara dunia dan budaya, antara rasionalitas dan spiritualitas, ia menawarkan panduan hidup yang tetap relevan di tengah kompleksitas zaman.

Di tengah arus globalisasi dan krisis nilai, mengenal Sosrokartono adalah sebuah ajakan untuk kembali menjadi manusia yang utuh, sadar, dan penuh kasih. Sebuah pelajaran yang tidak lekang oleh waktu. []

📝 Dhilan Baskara

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini